Hal ini tentu akan mempersulit pihak yang diharuskan melaksanakan Putusan MK tersebut. Alasannya adalah perlu waktu untuk menindaklanjuti Putusan MK, baik prosedur pembentukan, rapat, diskusi, sidang, pengundangan, dan belum lagi hambatan-hambatan yang akan muncul sehingga tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.
Salah satu contoh problematik pelaksanaan putusan MK akibat tenggang waktu ada pada Nomor 92/PUU-X/2012. Dalam Putusan tersebut, seluruh ketentuan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mereduksi kewenangan DPD sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Atau, setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional.
Melalui putusan itu juga, MK menegaskan bahwa DPD mempunyai hak konstitusional sebagaimana Pasal 22D ayat (1) dan (2). Hak atau kewenangan tersebut di antaranya mengajukan dan ikut membahas RUU, serta terlibat dalam penyusunan prolegnas dan pertimbangan terhadap RUU. Faktanya, secara substansial putusan MK tersebut dimuat kembali dalam Uau Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Kedua, kekuasaan MK yang luas dan cenderung melampaui batas. Juru bicara MK Fajar Laksono juga menyatakan bahwa putusan MK turut menjadikan MK sebagai organ konstitusional yang superbody, yaitu cabang kekuasaan negara yang memiliki kekuasaan yang besar dan luas, bahkan melebihi kekuasaan lembaga-lembaga negara lainnya. Kekuasaan yang besar dan luas ini salah satunya dilihat dari beberapa putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan melampaui batas.
MK yang seharusnya dalam menjalankan kewenangan konstitusional berperan sebatas sebagai negative legislator, dalam dinamikanya cenderung menjadi positive legislator. Alhasil, MK dalam memutus tidak hanya menyatakan norma inkonstitusional tetapi sering kali mengubah makna norma yang ada, yang terkadang berseberangan dengan original intent.