Karakter putusan yang mengubah makna substansi norma dapat berpotensi memasuki ranah kewenangan lembaga legislatif. Serta, karakter putusan ini tidak dapat segera dilaksanakan, karena pihak yang diharuskan melaksanakan putusan putusan masih menunggu payung hukum yang lebih jelas.
Landasan putusan konstituional bersyarat ini sempat muncul pada Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu mengenai larangan MK membuat norma baru dalam putusan. Namun ketentuan tersebut telah dibatalkan oleh MK melalui putusan Nomor 48/PUUIX/2011 sehingga tidak menjadi penghalang lagi bagi MK untuk membuat putusan konstitusional bersyarat.
Keadaan demikian berpengaruh pada ketidakharmonisan antar cabang kekuasaan negara. Ketidakharmonisan antarcabang kekuasaan ternyata bahkan tidak hanya sebatas diabaikannya putusan MK. Namun lebih dari itu, ketidakharmonisan juga terletak pada usaha cabang kekuasaan legislatif untuk mereduksi kekuatan MK.
Agar putusan MK dapat dilaksanakan serta menjaga wibawa MK atas putusan yang dikeluarkan, dibutuhkan aturan-aturan pemberlakukan tenggang waktu untuk menindaklanjuti putusan MK. Selain itu, perlu disusun aturan batasan hakim konstitusi dalam membuat suatu putusan sehingga MK tidak keluar dari batasannya dan tidak dianggap bertindak sewenang-wenang.