Dalam tulisan ini, akan dibahas satu dari sekian banyak kekeliruan dalam penyusunan dan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. Adapun kekeliruan yang dimaksud adalah penghapusan ketentuan tanggung jawab mutlak bagi korporasi perusak lingkungan yang sebelumnya termuat dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Tanggung jawab mutlak (no fault liability atau liability without fault) sendiri dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan frasa strict liability. Tanggung jawab mutlak dimaknai sebagai tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Strict liability berfokus pada dampak yang ditimbulkan dari sebuah perbuatan terlepas dari sengaja atau tidaknya maupun sadar atau alpanya si pembuat yang menimbulkan suatu akibat.
Perlu diketahui, bahwa kesengajaan maupun kealpaan merupakan hal-hal yang hanya bisa dibuktikan melekat pada individu. Hal-hal tersebut berkaitan dengan kondisi psikologis baik kesengajaan (teori kehendak), maupun kealpaan (teori pengetahuan). Maka, muncullah pertanyaan “bagaimana jika pelaku bukanlah individu melainkan badan hukum/korporasi?” Dan pertanyaan tersebutlah yang dijawab dengan konsep strict liability.
Strict Liability dalam UU PPLH
Terkait itu, ketentuan Strict Liability dalam hukum lingkungan Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 88 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Dengan adanya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan“ maka norma ini bertujuan untuk menjerat pelaku pelanggaran lingkungan non-individu, baik itu korporasi maupun badan hukum lain.
Korporasi sulit dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat keharusan untuk membuktikan unsur kesalahan. Korporasi yang merupakan subjek hukum bukan manusia tidak terikat dengan kondisi-kondisi psikologis berupa kesengajaan maupun kealpaan, sehingga mustahil untuk membuktikannya. Maka dihadirkanlah ketentuan strict liability dalam UU PPLH.
Ketentuan ini juga bertujuan melindungi masyarakat korban kerusakan lingkungan. Karena dengan adanya ketentuan ini, mereka tidak dibebani pembuktian unsur kesalahan yang berisiko memupus harapan mereka untuk menerima ganti rugi materiil maupun imateriil akibat kegiatan korporasi yang merusak lingkungan hidup.