Pandemi COVID-19 tengah menimpa seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Pandemi COVID-19 di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga keselamatan masyarakat menjadi yang paling utama. Banyak sekali aspek yang terdampak dari adanya pandemi COVID-19 ini, salah satunya adalah sistem peradilan pidana.
Sebelum pandemi COVID-19, sistem peradilan pidana di Indonesia diselenggarakan secara fisik, antara penasihat hukum, terdakwa, korban, saksi, penuntun umum, dan majelis hakim. Mereka dapat berinteraksi secara langsung tanpa melalui media teleconfrence. Namun, pada saat pandemi COVID-19 saat ini, kemudian dalam rangka membantu pemerintah dalam memutus rantai penyebaran COVID-19, sistem peradilan terutama persidangan pidana dilakukan secara virtual. Hal ini sesuai Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.
Dengan adanya keadaan memaksa (force majeure), kita benar-benar dituntut untuk tetap dapat melakukan kebiasaan kita seperti biasa dengan tidak melupakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Apalagi, di dalam sistem peradilan Indonesia, yang mana di suatu persidangan-persidangan apapun itu pasti akan mengumpulkan masa yang cukup banyak dan akan memenuhi ruang persidangan, ini tidak memungkinkan dilakukan di tengah keadaan pandemi ini.
Dengan keadaan memaksa ini (force majeure), mau tidak mau kita harus sekreatif mungkin supaya setiap kegiatan kita dapat tetap terlaksana, apalagi sistem peradilan pidana kita. Oleh karena itu, keluarlah kebijakan tentang proses persidangan pidana dilakukan secara online. Ini sangat bagus diterapkan dengan adanya kemajuan tekhnologi yang sangat pesat. Namun, perlu dipertimbangkan lagi supaya persidangan kita benar-benar dapat memberikan kepastian hukum dan terbuka untuk umum, terutama persidangan pidana.
Indonesia sendiri merupakan negara hukum yang dalam melakukan penegakan hukum diperlukan serangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan pidana yang bersifat preventif, represif, dan edukatif untuk mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Dan hal terpening dari negara hukum adalah adanya sebuah penghargaan dan komitmen untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta memberikan kedudukan hukum yang sama terhadap semua warga negaranya (equality before the law). Teori equality before the law menurut Pasal 27 ayat(1) UUD 1945, adalah suatu mata rantai antara hak dna kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diberlakukan secara adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.
Didalam KUHAP sendiri memuat 10 (sepuluh) asas penting dalam penyelanggaraan peradilan pidana, salah satunya adalah asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum.
Maksud asas pemerikasaan pengadilan terbuka untuk umum iadalah setiap masyarakat boleh memahami, mengikuti, dan mengahadiri jalannya proses persidangan tersebut yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh majelis hakim. Ada beberapa kasus yang tidak dapat terbuka untuk umum yang diatur dalam Undang-Undang lain, namun tetap dalam putusan hakim harus menyatakan putusan tersebut dengan terbuka untuk umum.
Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 110), hal ini bertujuan agar semua persidangan pengadilan jelas, terang dilihat, dan diketahui masyarakat. Tidak boleh persidangan gelap dan bisik-bisik.
Didalam KUHAP Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengatur tentang persidangan terbuka untuk umum, yaitu: