Hingga akhirnya, keadaan tersebut tidak hanya berdampak di sekitar Jakarta pusat. Namun, juga seluruh negeri. Karena, akses jaringan untuk sosial media seperti Instagram, Facebook tidak bisa diakses mulai tanggal 22 Mei 2019. Hal tersebut juga berlaku kepada aplikasi chatting yaitu WhatsApp dan Telegram serta Facebook Messanger. Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan disingkat Menkopolhukam yaitu Wiranto, bahwa pembatasan akses tersebut harus dilakukan, karena merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan negeri.
Pembatasan akses tersebut bukan karena hal yang sewenang-wenang. Hal ini dilakukan, untuk menghindari berita hoax atau palsu yang sangat mudah disebarkan dalam bentuk tangkapan layar atau screenshot. Melihat, situasi yang sangat genting di dalam negeri ini, agar tidak semakin kacau, maka hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan negeri. Banyak media menyebutkan, bahwa sebenarnya kata yang lebih tepat untuk diungkapkan adalah pembatasan akses terhadap media sosial, bukan pemblokiran media sosial. Karena, jika sifatnya sudah di blokir, maka bentuk dari platform media sosial tersebut sudah tidak diketahui wujudnya. Maksudnya, jika sifatnya sudah di blokir, maka media sosial tersebut 100% tidak bisa diakses seterusnya. Sehingga, penggunaan kalimat pembatasan akses dianggap masih relevan dengan keadaan yang sekarang.
Namun, apakah benar jika pembatasan akses tersebut benar benar bisa membuat keadaan lebih terkendali dan tidak menimbulkan masalah baru? Karena keberadaan media sosial ini sebagai bentuk yang global dan banyak orang sudah bergantung kepada media sosial. Salah satunya, adalah bisnis. Di platform yang paling banyak digunakan, yaitu Instagram. Akibat pembatasan akses yang dilakukan selama hampir 3 hari tersebut, dihitung kerugian mencapai sekitar 681 miliar. Hal ini jelas sangat merugikan, melihat pada saat Ramadhan, bisnis pada saat posisi yang ramai dan justru sedang meningkat. Dan hal ini merupakan titik di mana para konsumen sedang terdorong sifat konsumtifnya menjelang lebaran hari raya.
Apabila ditanya, penjualan online tidak hanya dilakukan di platform media sosial saja, namun bisa dilakukan di e-commerce lainnya, lantas mengapa kerugian tetap tinggi? Pasalnya, dikutip dari republika.co.id, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, sebanyak 66 persen transaksi jual beli online terjadi di platform media sosial seperti Instagram, Facebook dan Whatsapp. Hanya 16 persen transaksi lewat marketplace, berdasarkan riset Ideas 2017. Yang artinya, masyarakat Indonesia cenderung lebih memilih platform media sosial untuk berbelanja. Karena di dalam platform media sosial, fungsi nya sendiri adalah berkomunikasi, kemudian komunikasi tersebut dimanfaatkan untuk berjualan, karena media sosial tersebut dapat berfungsi sebagai media pemasarannya. Sehingga orang akan tertarik untuk membeli. Ditambah, dengan terciptanya komunikasi yang mudah dan baik.