Terbentuknya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga yang disahkan pada tanggal 22 Sepetember 2004 tidak terlepas dari peran pemerintah di dalamnya karena undang-undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah serta diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban, dan penindakan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga
Berdasarkan data yang telah diambil akan dilakukan dengan Teori Penyimpangan Seksual, Teori Perlindungan Hukum dan Teori Peran sehingga diharapkan dapat ditemukan pola pelaku dalam melakukan kekerasan seksual. Pola kekerasan seksual merupakan sebuah pola yang terdiri dari gabungan beberapa sisi pandang/motif yaitu: perilaku menyimpang (dari sisi psikologi pelaku), modus kejahatan, dan situasi (pelaku dan korban) serta faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak
Dalam penerapan hukuman atas tindak pidana perkosaan, dalam tinjauan hukum Islam dan hukum positif dapat ditentukan titik perbedaan dan persamaannya. Adapun persamaannya dalam tinjauan keduanya adalah bahwa tindak pidana perkosaan dapat dikategorikan dalam tindak pidana berat, dalam hukum Islam perkosaan dikategorikan dalam zina, dalam hal ini zina yang dilakukan terdapat unsur paksaan.
Persetubuhan yang dipaksa, para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had bagi wania yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). Melihat sanksi bagi pelaku pemerkosaan diatas, sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku dapat memberikan manfaat kebaikan dan keadilan pada korban kejahatan dan pelanggaran maupun pada anggota masyarakat lainnya.
Dalam hukum positif, perkosaan anak di bawah umur juga dikategorikan dengan tindak pidana yang serius, karena berdampak pada psikologis dan perkembangan anak. Pemerintah sangat serius melihat kejahatan ini, pada Pasal 290 KUHP Ayat 2 dan 3 pelaku diancam dengan penjara pidana paling lama tujuh tahun. Dengan berjalannya waktu pasal tersebut dirasa masih terlalu ringan untuk diterapkan.
Pada tahun 2000-an dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun kurungan penjara ditambah dengan denda minimal Rp60.000.000 dan maksimal Rp300.000.000. Kemudian pemerintah melakukan perubahan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dengan Undang-Undanh Nomor 35 Tahun 2014 dengan menambah pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).