Kabar kepemilikan alat-alat sadap canggih menggemparkan masyarakat Indonesia, peretasan terhadap akun sejumlah aktivis belakangan ini menjadi momok bagi para pegiat anti-korupsi dan HAM. Hal tersebut dibenarkan sejumlah anggota Komisi Pertahanan dan Intelijen DPR-RI. Salah satu alat tersebut yaitu Pegasus, program perusak sekaligus mata-mata (spyware) buatan NSO Group Technologies, perusahaan asal Israel. Perangkat lunak ini dapat digunakan untuk menginfeksi telepon seluler dan mengambil data berupa foto, percakapan, serta nomor kontak, juga merekam pembicaraan target jarak jauh (Tempo.co, 27/06/2020).
Ingatan kembali pada aksi #Reformasidikorupsi beberapa waktu yang lalu, dimana berbagai aktivis anti-korupsi termasuk penulis menjadi korban peretasan oleh nomor-nomor asing saat memprotes disahkannya revisi kedua UU KPK yang kemudian disahkan melalui UU Nomor 19 tahun 2019. Pada masa Pandemi COVID-19 ini, berbagai aktivis anti-korupsi dan HAM yang mengkritisi kebijakan Pemerintah yang dinilia tidak tepat justru menjadi korban peretasan, seperti Ravio Patra, Dandhy Laksono, Budi Setyarso, hingga pembajakan terhadap Al Araf, Direktur Imparsial, dan usman Hamid, Direktur AmnestI Internasional Indonesia.
Tentu, ini merupakan tantangan yang luar biasa terhadap keamanan data pribadi, masyarakat sipil akan sangat rentan menjadi korban serangan terhadap aktivitas mata-mata dengan dalih keamanan negara. Pola serangan tersebut bagian dari upaya sistematis seranngan terhadap data privasi dan kebebasan berekspresi masyarakat sipil. Maka dari itu bagaimana batasan aktivitas mata-mata, serta urgensi perlindungan data pribadi di Indonesia.
Batasan Mengenai Aktivitas Mata-mata
Kajian tentang mata-mata (spy) dalam konteks hukum internasional, sangat erat kaitannya sebagai cara-cara yang diperkenankan dalam masa perang (war measure), artinya bahwa kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh intelijen atau combatan dalam konteks hukum humaniter internasional menjadi kerja-kerja yang diperkenankan ketika masa perang (armed conflict situation). Rain Livoja & Tim McCornack (2016:264) memberikan penegasan bahwa intelijen yang melakukan mata-mata adalah mereka yang melakukan Clandestine atau sesuatu yang rahasia, tersembunyi dan beraktivitas, dengan pretensi menggagalkan berbagai macam informasi militar di wilayah yang dikuasai musuh. Pelaku mata-mata dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelanggaran dan termasuk bagian dari kejahatan siber, mengingat aktivitas tersebut dilakukan pada masa damai dan tanpa