Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) secara umum mengatur hukum acara khusus dalam penanganan perkara anak. Anak yang dimaksud adalah seseorang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Hukum formil ini berlaku efektif sejak tahun 2014 atau dua tahun setelah diundangkan.
UU SPPA mereformasi paradigma hukum pidana lama dari penegakan hukum distributif menjadi pidana alternatif. Sejumlah pasal memberikan pesan kepada para pihak (stake-holder) tentang penegakan hukum yang mengedepankan humanisme, diversi, restorative dan pidana alternatif.
Diversi bertujuan untuk: (a) mencapai perdamaian antara korban dan anak, (b) menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, (c) menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Mewujudkan keadilan restoratif yang bermakna penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Pidana alternatif berupa jenis sanksi pidana seperti pidana peringatan, pidana bersyarat, pidana pelatihan kerjadan pembinaan dalam lembaga. Apabila keempat ayat tersebut tidak sesuai dengan perbuatan maka pasal pidana penjara sebagai pilihan terakhir.
Pembahasan
Sejak tahun 2009 penulis sudah mulai berprofesi sebagai Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Tugasnya melaksanakan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dan pendampingan terhadap anak berhadapan dengan hukum. Penulis cukup banyak pengalaman mengikuti jalannya proses perkara anak mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan hingga pembinaan. Penulis tidak hanya melihat dari dimensi hukum saja, melainkan dari dimensi sosial, keluarga, budaya, agama dan ekonomi.
Perjalanan pengalaman jua lah yang akhirnya membuat penulis menjadi paham mengapa UU SPPA sangat menekankan penegakan hukum yang humanis, restorative justice, diversi hingga pidana alternatif. Perampasan kemerdekaan (penjara) dan pemidanaan disebut sebagai upaya terakhir. Tujuannya adalah untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.
Setiap ada anak yang melakukan tindak pidana, UU SPPA memerintahkan kepada PK untuk melakukan Litmas. Tahapannya, PK melakukan wawancara terhadap Anak saat proses penyidikan, terhadap keluarga, masyarakat dan pihak lainnya. Tidak hanya menggunakan metode wawancara, PK juga melakukan pengamatan langsung terhadap situasi dan kondisi yang terkait dengan kehidupan Anak ataupun jalannya perkara.
Penulis sangat sependapat terhadap anak yang berlatarbelakang putus sekolah, hidup di jalanan, sering melakukan tindak pidana dan anti-sosial dapat dijatuhi pidana penjara. Sebaliknya, penulis tidak sependapat terhadap anak yang masih sekolah, baru sekali melakukan tindak pidana dankeluarga yang masih sanggup mendidik, karena suatu hal ia terbawa-bawa dalam rangkaian tindak pidana dijatuhi hukuman pidana penjara. Contoh, ia membeli sebuah handphone kepada seseorang yang tidak dikenal yang ternyata barang tersebut hasil curian. Aktifitas penjualan bawah tangan tersebut biasanya terjadi melalui media sosial.
Perbuatan anak masuk pada unsur tindak pidana. Hal tersebut disebabkan hukum pidana meteril KUHP yang masih bergaya distributif, tidak ada hukuman selain hukuman pidana penjara. UU SPPA sebagai hukum acara yang terbarukan menerobos paradigma lama. Jika suatu perbuatan pidana ancaman hukumannya dibawah tujuh tahun, wajib dilakukan diversi, perkara selesai tanpa ketok palu hakim. Penerapan diversi hanya satu kali selama ia berusia di bawah 18 tahun.
Terhadap perbuatan pidana yang tidak masuk pada pasal diversi, dipertimbagkan untuk dijatuhi pidana alternatif dengan terlebih dahulu memeriksa apakah ia masih bersekolah? Apakah baru kali pertama melakukan tindak pidana? Apakah orang tua masih sanggup membina? Ditambah sikap korban korban yang memafkan anak. Jika semuanya terpenuhi maka sangat bijak untuk dijatuhi pidana alternatif terhadap Anak.
Simpulan
Menerapkan diversi atau pidana alternatif pada perkara anak bagian dari pengamalan penegakan hukum positif. Diversi dan pidana alternatif memiliki legal-standing yang kuat berupa Undang-Undang. Setiap warga negara wajib mengamalkan Undang-Undang sebagai amanat konstitusi yang hirarkinya jauh lebih tinggi dari cara dan selera dalam menegakan hukum. Hukum dibuat demi kemaslahatan penegak hukum dan juga orang yang dihukum.
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Martabat anak wajib dijaga oleh anak itu sendiri, orang terdekatnya dan kita semua. Anak Indonesia adalah aset Indonesia. Negara wajib melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang di dalamnya termasuk anak-anak. Terbitnya UU SPPA sebagai wujud hadirnya negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.