Sebenarnya masuknya KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif adalah sebuah penyesuaian dengan Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 dan check and balances pun adalah hal yang baik dan sudah seharusnya dalam suatu lembaga pemerintahan. Akan tetapi, keberadaan Dewan Pengawas dianggap membuka pintu intervensi politik ke dalam KPK karena kode etik Dewan Pengawas yang lemah. Implikasi lain yang dinilai berdampak besar dari kehadiran Dewan Pengawas adalah setiap penyadapan yang dilakukan oleh KPK wajib seizin tertulis Dewan Pengawas yang dikeluarkan paling lambat 1×24 jam sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12B Ayat (1) dan (3) UU No. 19/2019 yang jelas memperlambat kinerja KPK dan mengakibatkan adanya ancaman kebocoran informasi.
Hal lain yang disorot dari revisi undang-undang KPK adalah status pegawai KPK menjadi ASN yang jelas berkontradiksi dengan sifat lembaga KPK sebagai sebuah lembaga independen. Imbas lain dari status ASN pegawai KPK adalah sistem penggajian yang memisahkan antara gaji pokok dan tunjangan yang sulit untuk dikontrol sehingga dikhawatirkan akan membuka celah korupsi di kalangan pegawai KPK. Wewenang penerbitan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) pada KPK sebagaimana tertuang dalam Pasal 40 UU No. 19/2012 dinilai bermasalah karena berpotensi menghentikan penyidikan sejumlah kasus besar. Kompleksitas kasus besar tentu membutuhkan waktu lama dalam penanganannya sehingga tidak logis apabila disamaratakan dengan kasus biasa.
Lantas Bagaimana dengan Wacana Hukuman Mati?
Sebelum adanya revisi Undang-Undang KPK, penanganan korupsi di Indonesia pun sudah menuai banyak kritik. Salah satunya adalah penegakan hukum yang cenderung masih lembek kepada mereka yang berkuasa. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan tren hukuman ringan kepada terdakwa perkara korupsi pada periode semester I 2020. Rata-rata terdakwa hanya dijatuhi hukuman 2 tahun 11 bulan di tingkat pengadilan tipikor, 3 tahun 6 bulan di tingkat pengadilan tinggi, dan 4 tahun 8 bulan di tingkat Mahkamah Agung. Belum lagi fasilitas mewah bagi para koruptor di dalam lapasnya.
Tentu saja miris apabila dibandingkan dengan kesejahteraan rakyat yang selama ini tergerus dan pembangunan di sejumlah daerah yang terhambat. Hukuman ringan yang dijatuhkan bagi para koruptor jelas membuat rakyat pesimis akan ada efek jera yang ditimbulkan sehingga wacana ancaman hukuman mati pun muncul di tengah masyarakat. Ancaman hukuman mati bagi para koruptor memang sudah diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor yang menyatakan terdakwa perkara korupsi dapat dijatuhi hukuman mati apabila tindakan korupsi dilakukan pada keadaan tertentu yang mana hal tersebut merupakan alasan pemberat. Namun, berkaca pada negara lain yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti Cina tidak menunjukkan adanya nilai indeks persepsi korupsi yang baik.
Hal sebaliknya justru ditunjukkan oleh negara-negara di Eropa dan Australia yang tidak menerapkan hukuman mati pada koruptornya, tetapi menduduki peringkat tertinggi indeks persepsi korupsi. Di Indonesia hukuman mati sudah diterapkan pada kasus narkotika, tetapi tetap tidak memberikan pengaruh yang signifikan sehingga hukuman mati bagi para koruptor dikhawatirkan juga tidak cukup untuk memberikan efek jera. Selain itu, hukuman mati jelas menuai banyak perdebatan di kalangan aktivis HAM karena tidak sesuai dengan pertimbangan kemanusiaan, yakni menutup kesempatan seseorang untuk berbenah diri.
Masalah korupsi yang kian merajalela memang harus dilawan secara bersama-sama, tidak cukup apabila rakyat hanya mengandalkan pemerintah dan KPK saja. Segenap elemen masyarakat seharusnya turut terlibat dalam upaya pengawasan dan pengaduan, jangan hanya bungkam ketika melihat adanya tindakan korupsi yang dilakukan pejabat daerahnya. Masyarakat harus berani dalam menyuarakan aspirasi dan pengaduannya. Pemerintah juga jangan hanya berkutat pada narasi regulasi penanggulangan tindak korupsi.
Langkah pencegahan justru malah sering diabaikan. Memperbaiki sistem pengawasan pada birokrasi dan meningkatkan transparansi pada kinerja pemerintah merupakan hal yang seharusnya diutamakan dalam memberantas korupsi. Selain itu, watak aparat dan pejabat yang bekerja untuk kepentingan rakyat juga harus dibina. Mental korupsi merupakan lingkaran setan yang harus diputus bersama karena mempertaruhkan moral generasi penerus bangsa.
Referensi
TEMPO.CO, “Empat Bahaya Keberadaan Dewan Pengawas KPK”, https://nasional.tempo.co/read/1268390/empat-bahaya-keberadaan-dewan-pengawas-kpk, diakses 16 Februari 2021.