Dalam persoalan ini, sudah seharusnya pemerintah maupun DPR dapat memberikan alasan jelas kepada masyarakat tentang dirubahnya kembali UUMK mengingat dewasa ini masyarakat sudah cukup paham dan mampu menelaah fungsi yudikatif, terlebih dalam hal profesionalisme hakim. Jika memang alasan dari ketentuan ini adalah pengalaman dalam menjabat sebagimana disebutkan dalam pasal 15 ayat 2(b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum”.
Tidak bisa disimpulkan bahwa para calon berpengalaman yang berumur diatas 55 tahun bisa saja mendapat gelar akademik dibawah umur nya tersebut. Hal ini dimungkinkan karena antara pengetahuan dan integritas tidak cukup hanya diukur dengan umur. Pada skripsi Nur Herawati mengutip penjelasan pengalaman menurut Amron “Pengalaman kerja tercermin dari pekerja yang memiliki kemampuan bekerja pada tempat lain sebelumnya.
Semakin banyak pengalaman yang didapatkan oleh seorang pekerja akan membuat pekerja semakin terlatih dan terampil dalam melaksanakan pekerjaannya[4].” Dalam pengalaman tertentu, umur tidak lagi menjadi tolak ukur semata melainkan juga perlu memperhatikan pengalaman yang terus berkembang seiring dengan integritas personal dalam menajalani pekerjaannya. Apabila calon hakim MK dilihat tingkat pengalamannya hanya dengan umur semata maka akan menimbulkan ketidaklogisan pikiran yang dirasakan oleh masyarakat.
[1] Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
[2]Pasal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi