Integritas pada umumnya diperlukan dalam suatu jabatan ataupun dalam menerima suatu tanggung jawab. Hal ini diperlukan dalam pekerjaan ataupun jabatan karena sebagai inti dari kompetensi seseorang dalam menerima tanggung jawab. Pada dunia perusahaan, HRD selalu memberikan tes tentang integritas terhadap calon karyawan yang melamar terhadap perusahaan karena ingin mendapatkan karyawan yang berintegritas. Menurut Henry Cloud, ketika berbicara mengenai integritas, maka tidak akan terlepas dari upaya untuk menjadi orang yang utuh, yang bekerja dengan baik dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya.
Sementara menurut Plato, Aristoteles dan Aquinas (dalam Olson, 1998a) mengemukakan bahwa integritas berasal dari bahasa latin yaitu integrity yang bermakna “as whole and represents completeness”, artinya, integritas menunjukan keseluruhan dan kelengkapan. Mereka juga menerangkan bahwa integritas merupakan keseluruhan dari bagian-bagian tertentu. Integritas merupakan karakter yang telah menyatu dalam kehidupan seseorang yang digunakan untuk mencapai seluruh kebajikan dan kebahagiaan sehingga bisa disimpulkan integritas adalah salah satu atribut terpenting/kunci yang harus dimiliki seorang pemimpin. Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan.
Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat. Salah satu indikator yang berpengaruh terhadap integritas adalah umur. Bahkan dalam pembuatan SIM, umur masih menjadi indikator persyaratan yang harus dipenuhi dan sebagai tingkat kecakapan tindakan. Tidak terlepas hingga disitu saja, suatu integritas memerlukan analisis khusus karena tidak hanya pembuatan SIM saja yang memerlukan syarat tersebut. Syarat perkawinan dan mendaftar menjadi anggota TNI/POLRI juga memerlukan hal tersebut.
Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dalam substansinya hakim Mahkamah konstitusi harus berumur minimal 55 tahun menjadi isu hangat dalam jagat media[1]. Hal ini menimbulkan berbagai perspektif dalam masyarakat, mengingat peluang bagi calon pendaftar hakim Mahkamah konstitusi yang memiliki kopentensi dan integritas akan tidak bisa mendaftar ketika memiliki umur dibawah 55 tahun.
Dengan kata lain, peraturan ini juga mengatur bahwa hakim yang berusia sudah mencapai 70 tahun akan diberhentikan dengan hormat[2]. Aturan ini berdampak bagi hakim atau calon hakim yang memiliki umur diatas 65 tahun sebab dalam satu priode jabatan hakim MK adalah 5 tahun[3]. Oleh karena itu, calon hakim yang memiliki umur diatas 65 tahun tidak dapat mencalonkan menjadi hakim Mahkamah konstitusi mengingat tidak akan cukup satu menjabat dalam satu periode.
Dalam persoalan ini, sudah seharusnya pemerintah maupun DPR dapat memberikan alasan jelas kepada masyarakat tentang dirubahnya kembali UUMK mengingat dewasa ini masyarakat sudah cukup paham dan mampu menelaah fungsi yudikatif, terlebih dalam hal profesionalisme hakim. Jika memang alasan dari ketentuan ini adalah pengalaman dalam menjabat sebagimana disebutkan dalam pasal 15 ayat 2(b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum”.
Tidak bisa disimpulkan bahwa para calon berpengalaman yang berumur diatas 55 tahun bisa saja mendapat gelar akademik dibawah umur nya tersebut. Hal ini dimungkinkan karena antara pengetahuan dan integritas tidak cukup hanya diukur dengan umur. Pada skripsi Nur Herawati mengutip penjelasan pengalaman menurut Amron “Pengalaman kerja tercermin dari pekerja yang memiliki kemampuan bekerja pada tempat lain sebelumnya.
Semakin banyak pengalaman yang didapatkan oleh seorang pekerja akan membuat pekerja semakin terlatih dan terampil dalam melaksanakan pekerjaannya[4].” Dalam pengalaman tertentu, umur tidak lagi menjadi tolak ukur semata melainkan juga perlu memperhatikan pengalaman yang terus berkembang seiring dengan integritas personal dalam menajalani pekerjaannya. Apabila calon hakim MK dilihat tingkat pengalamannya hanya dengan umur semata maka akan menimbulkan ketidaklogisan pikiran yang dirasakan oleh masyarakat.
[1] Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
[2]Pasal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi
[3] Pasal 4 ayat (3)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2oo3 Tentang Mahkamah Konstitusi
[4] Nur herawati. 2013. Analisis Pengaruh Pendidikan, Upah Pengalaman Kerja, Jenis Kelamin Dan Umur Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Industri Shutllecock Kota Tegal,Skripsi; Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Ingin informasi lomba, webinar, call for papers atau acara kalian lainnya juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.