Beberapa waktu belakangan memang marak sejumlah mural yang berisi keritikan terhadap pemerintah saat Pandemi dihapus oleh aparat. Sebut saja mural bergambar wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) disertai tulisan “404: Not Found” ramai di media sosial. Polisi bahkan langsung memburu pembuatnya, karena dianggap menghina dan melecehkan lambang negara. Berada di terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta, Batuceper, Tangerang, Banten, Aparat tak hanya menghapus dan menutupnya dengan cat hitam namun juga mencari dan memburu seniman yang membuatnya.
Polisi berdalih, mural itu telah melecehkan dan menghina presiden yang menurut mereka adalah lambang negara. Langkah polisi ini menuai kritik, Mereka dinilai berlebihan dengan mengejar dan memburu pembuat mural tersebut. Ini juga menunjukkan kesan bahwa pemerintah atau Presiden Jokowi anti kritik. Maka dari itu terdapat kepentingan berdasarkan pandangan pemerintah untuk merumuskan Pasal Penghinaan Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
Terhadap RKUHP sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej kompak satu suara soal perumusan pasal penghinaan presiden dan/atau wakil presiden dengan ancaman penjara maksimal 3 Tahun 6 Bulan.
Pasal Pemidanaan Pelaku Penghina Presiden dalam RKUHP
Setidaknya terdapat 4 Pasal pemidanaan persoalan penghinaan atau penyerangan kehormatan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Yakni:
Pertama,Pasal 217 “Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”.
Kedua, Pasal 218 ayat (1) “Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Ketiga, Pasal 218 ayat (2) “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”
Keempat, Pasal 219 “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”
Berdasarkan dari sifat deliknya diubah pula dari delik biasa menjadi delik aduan. Perlu diingat bahwa dalam KUHP yang berlaku saat ini Penghinaan dapat dipidana berdasarkan aduan, yang mana aduan itu sendiri dapat dicabut berdasarkan permintaan korban. Terdapat beberapa catatan penting persoalan kontra terhadap pengaturan pasal penghinaan presiden ini dalam RKUHP.
Tidak Ada Tolak Ukur Kepastian yang Bersifat Tegas dan Limitatif
Kondisi ini berpotensi membuka celah lebar penafsiran terhadap frasa “penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat” Presiden atau Wakil Presiden. Adanya celah lebar dalam penafsiran frasa ini menimbulkan permasalahan Membuka ruang penafsiran yang cukup luas (multitafsir) Berpotensi menimbulkan kekaburan antara tindakan apa yang dikategorikan sebagai kritik dengan apa yang dikategorikan sebagai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. Adanya kekaburan ini membuka celah pemidanaan terhadap tindakan kritik dengan dimasukkannya tindakan yang sesungguhnya sebagai tindakan kritik namun justru dimaknai sebagai tindakan Penghinaan.
Selain itu tidak adanya tolak ukur pasti tidak mencerminkan asas kejelasan rumusan sebagai bagian dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya.
Tidak Sejalan dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis
Kita semua tau Indonesia sendiri merupakan negara demokrasi sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Salah satu unsur negara demokrasi, adalah adanya keterlibatan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan dan kebijakan pemerintah. Hal ini pun sudah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Partisipasi ini dapat berupa tindakan penyampaian pendapat maupun kritik dalam bentuk yang beragam, baik secara tertulis maupun lisan. Adanya Pasal Penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang cenderung bersifat multitafsir dapat dijadikan ruang untuk memidanakan setiap orang yang melakukan perbuatan ‘yang sesungguhnya kritik’, namun dianggap sebagai penghinaan Presiden atau Wakil Presiden sehingga secara langsung akan bertentangan semangat demokrasi.
Tidak Sejalan dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006
Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan inkonstitusionalitas Pasal/Delik 134, 136 bis, 137 KUHPidana yang mengatur terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. MK dalam putusan tersebut beralasan bahwa:
Pertama, Ketentuan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHPidana berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal tersebut digunakan aparat hukum terhadap momentum- momentum unjuk rasa di lapangan sehingga bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Kedua, Presiden atau Wakil Presiden tidak boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif yang berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Oleh karenanya, keberadaan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHPidana dapat dikatakan tetap tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Oleh karena itu, Pilihan untuk menolak pasal tersebut merupakan cara terbaik agar rakyat tidak kembali mengalami kriminalisasi seperti dalam pemerintahan Orde Baru. Sebab, demokrasi akan tumbuh jika kekebasan berpendapat tidak dibungkam oleh siapa pun. Untuk menjaga tegaknya negara demokrasi, haruslah ditempuh dengan menghadirkan model pemerintahan egaliter yang memberikan kesempatan yang luas bagi warga negara untuk melakukan kritik.
Sehingga rumusan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya dikeluarkan dari Rancangan KUHP, guna menjamin konstitusionalitas KUHP di masa depan.
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Ingin informasi lomba, webinar, call for papers atau acara kalian lainnya juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.