Warga Negara Asing atau selanjutnya disebut WNA adalah seorang yang menetap dan tinggal di suatu negara tertentu akan tetapi tidak berasal atau bukan lahir dari negara tersebut serta tidak terdaftar secara resmi sebagai warga negara. Bagi warga negara yang ingin mendapat izin tinggal dan menerima hak dan kewajiban selama tinggal di Indonesia maka wajib tunduk dan patuh terhadap peraturan dan perundang undangan yang ada supaya mendapat perlindungan terhadap individu dan juga harta yang mereka miliki selama bertempat tinggal di Indonesia.
WNA di Indonesia sendiri memiliki beberapa tujuan, yakni untuk melakukan bisnis, menempuh pendidikan, berlibur dan juga beberapa tujuan yang lainnya. Hak dan kewajiban yang dimiliki WNA di Indonesia juga dilindungi oleh hukum dan juga sifatnya harus dihormati. Regulasi yang mengatur terhadap WNA tercantum dalam Pasal 26 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat di Indonesia”.
Walaupun definisi antara kebangsaan dan kewarganegaraan saling berkaitan, kedua hal tersebut tetap dibedakaan oleh hak-hak dalam hal berpolitik. WNA dapat memiliki kemungkinan untuk mendapat kebangsaan dan hak politik tanpa menjadi warga resmi dari suatu negara Indonesia meskipun dia bukan merupakan seorang warga negara. Pengertian dari kewarganegaraan sendiri dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kewarganegaraan dalam hal yuridis dan sosiologis.
Dalam arti yuridis adalah dengan adanya ikatan hukum antara orang dengan hukum. Dan daalam arti sosiologis adalah merupakan adanya ikatan hukum, emosional, perasaan, keturunan, nasib, sejarah dan juga ikatan tanah air. Sementara dalam arti formil dapat dilihat pada tempat kewarganegaraan (sistematika hukum) dan hal materil dilihat pada akibat hukum dari status kewarganegaraan (hak dan kewajiban negara).
Asas kewarganegaraan menjadi pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapa-siapa saja yang dapat menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukaan asas kewarganegaraan mana yang hendak di pergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Istilah pengujian Undang-undang atas Konstitusi UUD RI 1945 dalam penulisan penelitian tentu saja merajuk pada kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ditentukan di konstitusi UUD RI 1945 yang diantara salah satu kewenangannya MK RI adalah Undang-undang terhadap UUD (diatur dalam pasal 24C ayat 1 UUD 1945). Bahwa latar pemikiran lahirnya pengujian undang-undang dan hal ini sejalan dengan pemikiran hukum lahirnya Mahkamah Konstitusi di beberapa negara khususnya juga Indonesia. Pengujian konstitusional ini lahir dari pemikiran hukum dan konstitusi dalam rangka untuk membuat undang-undang yang dilahirkan pada lembaga legislatif tidak bertentangan dengan Konstitusi/Undang-undang Dasar.
Kata lain dari prinsip ini adalah konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) dan merupakan syarat utama negara hukum maupun demokrasi. Permohonan pengujian undang-undang atas konstitusi/undang-undang dasar yang kemudian menjadi ciri khas lembaga yudisial dibidang konstitusi ini menjadi ciri khas sekaligus menjadi permohonan perkara yang paling banyak dalam perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi RI menurut data penanganan perkara MK RI sejak tahun 2003 s/d 2018. Permohonan pengujian undang-undang dapat diajukan oleh Pemohon dengan masuk kepada substansi baik bersifat pengujian formil maupun pengujian materiil.
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya bukanlah tanpa batasan, sebab secara tegas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi RI telah memberi batasan kepada Mahkamah Konstitusi bahwa undang-undang dapat diuji adalah undang-undang yang telah diundangkan pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dapat dikatakan juga bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berhak untuk menguji undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun ketentuan pasal 50 UU MK yang mengatur bahwa UU yang dapat dimohon judicial review di Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang yang diundangkan pasca amandemen UUD 1945.
Legal standing, standing to sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) yang disederhanakan sebagai hak gugat. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada asas “ tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Asas ini mengandung pengertian bahwa kepentingan hukum (Legal Interest) seseorang atau kelompok merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (proprietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).
Doktrin tiada gugatan tanpa kepentingan hukum tersebut berada dalam lingkup perdata dimana yang diajukan adalah gugatan perdata. WNA dapat dinyatakan sebagai penduduk ketika yang bersangkutan telah bertempat tinggal selama 1 tahun berturut-turut. Secara tegas tentang diakuinya WNA sebagai penduduk negara dinyatakan dalam pasal 13 UU No. 3 Tahun 1946 “bahwa barang siapa bukan warga negara Indonesia, ialah orang asing”.
Dalam hukum dikenal prinsip teritorial yakni ketentuan kekuasaan daya berlakunya hukum kepada “siapa” dan “dimana”. Hukum Indonesia berlaku kepada setiap orang, siapapun juga baik warga negara sendiri maupun warga negara asing. Terkecuali berdasarkan hukum internasional ia diberikan hak “exterritorialiteit” yakni hak untuk tunduk kepada hukum negaranya sendiri. Dan sebagai subjek hukum, WNA memiliki kedudukan yang sama dengan wargan negara Indonesia dalam sebuah contract/ perjanjian baik yang dibuat dalam suatu akta notaris maupun tidak. Majelis Hakim Konstitusi menjadikan putusan MK RI No. 73/PUU-VIII/2010 dan putusan No. 2-3/PUU-V/2007 sebagai dasar hukum majlis dalam putusan perkara No. 137/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa rumusan Pasal 51 ayat (1) UUMK sudah ‘sangat jelas dan tegas’ (expressis verbis).
Intinya, hanya WNI yang berhak, sedangkan WNA tidak berhak. Dalam putusan perkara terakhir ini, Mahkamah menyatakan ‘tidak dimungkinkannya WNA mempersoalkan suatu Undang-Undang Republik Indonesia tidak berarti bahwa WNA tidak memperoleh perlindungan hukum menurut prinsip due process of law”. Dengan kata lain, WNA tidak memenuhi kualifikasi yang diatur Pasal 51 ayat (1) UUMK. Putusan ini memberi suatu pernyataan tegas dalam hukum positif di Indonesia bahwa WNA tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam berperkara di Indonesia khususnya dalam hal ini di Mahkamah Konstitusi R.I, walaupun dia tinggal di Indonesia.
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Ingin informasi lomba, webinar, call for papers atau acara kalian lainnya juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.