Secara ringkas, dalam keadaan force majeure, yang perlu diperhatikan adalah jenis prestasi dari perjanjian tersebut. Contohnya, apabila prestasinya adalah melakukan pembayaran utang, dalam keadaan COVID-19 ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai force majeure. Mengapa demikian? Karena masih dimungkinkan pembayaran melalui ATM atau mobile banking.
Namun, apabila prestasinya adalah jasa yang tidak dapat dilaksanakan misalnya melakukan konser di masa pandemi COVID-19 ini penyanyi dapat dibebastugaskan dari kewajiban. Hal ini sebagai konsekuensi dari misalnya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tidak memperbolehkan banyak masa berkumpul di suatu titik tempat. Selain itu, perlu juga diketahui kapan perjanjian kontrak tersebut dibuat hal ini tentu akan mempengaruhi apakah tidak terlaksananya suatu prestasi bisa dikaitkan dengan pandemi COVID-19 ataupun tidak.
Hingga saat ini banyak yurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai dasar force majeure yang cukup jelas tertuang dalam putusan Makamah Agung sebagai berikut: Putusan MA RI No. Reg.15K/Sip/1957 tentang ketidak mampuan dalam pemenuhan tanggung jawab dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilalui, Putusan MA RI No.Reg.24K/Sip/1958 tentang tidak ditemukan solusi lain/ alternatif yang tidak berkaitan dengan pelanggaran peratuan yang lain bagi pihak yang terkena keadaan kahar untuk melaksanakan perjanjian, Putusan MA RI No.Reg 558K/Sip/1971 tentang resiko tidak dapat diduga, tidak dapat diprediksi sebelumnya dan bukan merupakan kesalahan dari pihak dalam perjanjian.
Untuk menyikapi hal ini bagi para pelaku usaha serta debitur dan kreditur masih dapat mengajukan klaim force majeure dengan seyogyanya dilakukan dengan cara itikat baik dan tetap untuk berusaha memenuhi kewajiban para pihak dengan cara yang terbaik. Berikut ini cara yang dapat ditempuh dalam klaim force majeure ditinjau dari case by case yang dengan pertimbangan yang matang.
Pengajuan klaim force majeure dengan itikad baik dari kedua belah pihak dan memberitahukan kejadian sesuai dengan tata cara pemberitahuan yang telah disepakati dalam kontrak perjanjian. Pihak yang mengklaim force majeure tetap harus melaksanakan kewajiban dengan itikad baik dan melakukan usaha yang sewajarnya agar tetap dapat melaksanakan kewajiban atau setidaknya melakukan upaya untuk mitigasi resiko atas tidak terpenuhinya kewajiban berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Dalam pemberitahuan ini harus dilakukan secara tertulis dan diserahkan kepada pihak yang bersangkutan dan dalam rentan waktu tertentu sesuai perjanjian.
Pengajuan klaim force majeure juga diharuskan dengan rujukan hukum yang tepat. Hal ini harus meneliti terlebih dahulu bencana yang diakibatkan pandemi COVID-19 ini secara nyata berdampak jelas pada kegiatan/aktifitas bisnisnya terdampak dari peraturan pemerintah. Para pihak yang mengajukan klaim force majeure haruslah dapat membuktikan bahwa Pergub Jakarta No. 33 Tahun 2020 dan Pergub Jabar No. 27 Tahun 2020 yang memberlakukan PSBB itu menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap kegiatan/aktifitas bisnisnya atau tidak. Prinsipnya adalah pihak yang mengajukan klaim terhadap force majeure harus dapat membuktikan ketidak mampuan dalam pemenuhan kewajiban prestasi dan landasan legal yang tepat dengan hubungan hukum pihak-pihak yang terkait.