Kondisi pandemi COVID-19 mengharuskan setiap orang menjaga jarak atau physical distancing, nampaknya tak menjadi masalah bagi warga Amerika Serikat, khususnya di Minneapolis untuk melancarkan aksi demonstrasi. Aksi protes dilancarkan masyarakat Amerika untuk menuntut keadilan dan juga mengangkat kembali upaya menghilangkan rasisme. Unjuk rasa tersebut terjadi setelah terdapat pembunuhan terhadap seorang Afrika-Amerika yang bernama George Floyd (46) yang dilakukan oleh seorang anggota kepolisian bernama Derek Chauvin. Floyd meninggal dengan cara yang mengenaskan, setelah lehernya diinjak dengan posisi berlutu oleh seorang petugas polisi selama kurang lebih tujuh menit. Polisi tersebut sedang melakukan penangkapan atas tuduhan kasus yang belum diketahui kebenarannya. Ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa terdapat laporan pemalsuan terhadap Floyd. Sehingga, secara sepihak polisi tersebut menyiksa Floyd tanpa rasa kemanusiaan didasarkan rasisme.
Mengapa insiden ini memicu demonstrasi besar-besaran?
Sebenarnya penangkapan Floyd masih belum jelas sebabnya, ada yang menyatakan bahwa Floyd ditangkap akibat dugaan pemalsuan uang dan ada pula yang mengatakan Floyd ditangkap akibat dugaan pemalsuan tiket lottery. Kasus ini menjadi ramai diperbincangkan karena tersebarnya video pada saat penangkapan Floyd. Jelas sekali, pada video tersebut menampilkan Floyd sedang diinjak leher belakangnya menggunakan lutut seorang polisi. Floyd tak bisa berkutik dan hanya dapat berkata “I can’t breathe“. Dalam posisi tersebut, ia memohon kepada polisi untuk diberikan kesempatan bernafas. Sayang, tak perlu waktu lama, nyawa Floyd akhirnya melayang tanpa rasa keadilan.
Beredarnya video polisi yang tak berperikemanusiaan itulah yang mengakibatkan timbul demonstrasi besar besaran. Demonstrasi tersebut ditujukan untuk menuntut keadilan, menuntut pemberian hukuman kepada petugas polisi yang terlibat. Bukan sesuatu yang pertama kali terjadi di Amerika, banyaknya perlakuan yang tidak adil didasarkan atas ras seseorang menjadi latar belakang demonstrasi ini turut mengangkat Pemberatasan Rasisme sebagai agenda utama dalam demonstrasi. Memang, isu Rasisme masih menjadi hal yang sering terjadi di Amerika Serikat, maka secara otomatis demonstrasi ini banyak sekali didukung oleh berbagai pihak sehingga demonstasi yang terjadi menjadi semakin besar setiap harinya.
Demonstrasi Berujung pada Aksi Anarkis Hingga Penjarahan
Pada awalnya, demonstrasi berjalan secara baik-baik dan damai. Warga saling berbagi rasa frustrasi dan duka dengan cara melakukan unjuk rasa sambil meneriakkan “Saya tidak bisa bernafas” dan “Itu bisa saja saya”. Salah satu pengunjuk rasa menyerukan bahwa mereka tidak dapat menoleransi apa yang telah terjadi dan juga mereka menegaskan bahwa akan ada konsekuensi yang lebih berat, apabila mereka (para polisi) terus membunuhi warga.
Para pengunjuk rasa juga senang, pada saat mendengar para petugas polisi yang terlibat dalam insiden tersebut telah dipecat. Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa keadilan sesungguhnya tidaklah berjalan sebelum dijatuhkan yang namanya dakwaan dan vonis. Demonstrasi pun tetap berlanjut, pengunjuk rasa mulai berjalan menuju 3rd Precinct, alamat yang diyakini tempat para polisi bekerja. Seiring dengan berjalannya demonstrasi, terdapat pengunjuk rasa yang menginisiasi vandalisme, dari sinilah situasi mulai menjadi ricuh. Para pengunjuk rasa pun melempar cat dan merusak mobil-mobil polisi, merusak bangunan-bangunan, merusak pagar Kantor Polisi, hingga membakarnya.
Pernahkah berpikir kenapa harus ada penjarahan? Setidaknya kita tahu bahwa setiap demo bukan hanya berisi orang yg ‘asli’ menyuarakan keadilan tapi orang yg ‘ajimumpung’ …
Good article…