Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamirkan kemerdekaannya menjadi negara dengan agama islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa “Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan “Hukum yang tertinggi adalah Al-qur’an dan Sunnah”. Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syariat islam , dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur’an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan “hukum kafir”.
Akhir dari pemberontakan DI/TII di Aceh adalah menyerahnya Daud Beureueh setelah dicapai kesepakatan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah ini berlangsung pada tanggal 17-21 Desember 1962, dan mendirikan kembali provinsi Aceh dengan status daerah istimewa. Faktor lainnya yang menjadi timbulnya konflik di Aceh yaitu ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Akan tetapi faktor ekonomi memang tidak bisa dijadikan begitu saja yang menjadi faktor lahirnya GAM, karena faktor ekonomi dapat diselesaikan dengan tuntutan ekonomi bagi rakyat Aceh. Ketidakadilan dibidang ekonomi, politik, dan lainnya faktor ini yang bisa merupakan faktor kelahiran GAM.
Adanya isu referendum Aceh yang dikaitkan dengan dampak pemilu 2019, bahwa sebelumnya, Muzakir Manaf, mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum komite peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum partai Aceh (PA) mengutarakan gagasannya untuk menggelarkan referendum di Aceh. Salah satu alasannya, “Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing. Itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur” demikian penjelasan muzakir sebagaimana dikutip oleh media di Indonesia.