Salah satu semangat reformasi yang membatasi masa jabatan presiden yakni agar tidak selalu dipimpin oleh satu elit politik. Menurut UUD 1945, dibatasinya masa jabatan presiden tidak lain agar yang bersangkutan tidak menjadi otoriter, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 7.
Artinya, jika perpanjangan masa jabatan presiden itu dilakukan dengan dalih karena saat ini presiden dinilai baik. Karenanya, kondisi tersebut sangatlah kontradiktif dan bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, juga akan berdampak kepada kemunduran demokrasi dan mengingkari semangat para Founding Father terdahulu.
Perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode juga akan mengulang sejarah kelam sebelum adanya reformasi. Kondisi saat itu jabatan presiden tidak terbatas. Saat itu, praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) semakin marak dan diperparah dengan adanya praktik otoritarianisme.
Perpanjangan masa jabatan presiden ini disiasati dengan amandemen UUD 1945. Tentu langkah ini bertentangan dengan agenda demokrasi yang selama ini dibangun. Juga akan memperburuk citra demokrasi kedepan.
Memperkuat Komitmen Semangat Demokrasi
Selain konstitusi, sebelumnya telah ada Keputusan KPU No. 21 Tahun 2022 yang telah disahkan bersama-sama Komisi II DPR-RI, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu. Isi dalam keputusan tersebut salah satunya yakni penetapan tanggal pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Jika semua elemen tetap berpedoman kepada keputusan tersebut, seharusnya isu perpanjangan masa jabatan presiden tidak perlu digaungkan karena akan mencederai hak rakyat dalam memilih pemimpinnya.