Selain itu, ada beberapa contoh lain seperti Hasyim Muzadi ˗˗tokoh Islam Indonesia yang juga mantan ketua umum Nahdlatul Ulama˗˗ yang sempat masuk dalam daftar cawapres Megawati, serta Ma’ruf Amin ˗˗yang juga mantan ketua Majelis Ulama Indonesia˗˗ yang juga terseret pusaran oligarki dan politik praktis. Ini menunjukkan bahwa organisasi kemasyarakatan maupun keagamaan sudah tidak murni kembali karena telah disusupi para penguasa dan jaringannya (oligarki).
Persaingan para elite partai politik yang tampak keras di permukaan sesungguhnya hanya mekanisme untuk mencapai kesepakatan, membangun kolaborasi dalam upaya merampas dan mendistribusikan sumber-sumber ekonomi negara di antara mereka. Peristiwa seperti inilah yang sebenarnya telah terjadi di Indonesia. Prabowo Subianto yang dulunya sebagai musuh bebuyutan kolot Jokowi sekarang malah menjadi salah satu menteri di era Jokowi yang kedua.
Aristoteles memiliki artian tentang oligarki yang dipahami sebagai entitas atau berwujud kekuasaan yang dikuasai oleh sedikit orang (rule by the few). Hal ini memiliki artian bahwa Aristoteles dalam penjelasan tentang kekuasaan sedikit orang itu mengesampingkan jumlah aktor yang memengaruhi sistem pemerintahan yang ada dan befokus pada faktor penyebab jumlahnya yang sedikit. Ini menciptakan demarkasi atau batas pemisah antara demokrasi dengan oligarki dimana kekayaan menjadi penanda utamanya (ketika segelintir orang yang berkuasa disebut oligarki sementara jika yang berkuasa orang miskin hal tersebut adalah demokrasi).
Banyak tanda-tanda yang disebutkan oleh Aristoteles telah terjadi di negara kita, sehingga menjadi bukti kuat bahwa negara ini lebih cenderung pada illiberalisme dan oligarki. Sebagai contoh dapat dilihat pada partai PDIP yang mendominasi setiap sendi-sendi di pemerintahan. Menteri-menteri dan para anggota DPR yang banyak berasal dari latar belakang pengusaha dan partai pemenang. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa negara kita lebih cenderung pada oligarki dan illiberalisme.
Indonesia menjadi cenderung menjadi illiberalisme karena suara yang diperoleh sebatas suara, sedangkan efek setelah pemilihan tidak pernah terasa nyata. Lalu dari semua pernyataan ini seakan-akan muncul pertanyaan baru, apakah politik Indonesia cenderung bergerak ke arah kartel atau persekutuan antara beberapa pihak? Namun kita juga tidak bisa memungkiri bahwa reformasi politik Indonesia berhasil membangun institusi-institusi dasar demokrasi yang fundamental, pemilihan umum yang berjalan lancar dan reguler, partai dan parlemen yang berkembang pesat, dan desentralisasi daerah yang berjalan sangat lancar. Meskipun di sisi lain, ada spekulasi-spekulasi bahwa reformasi ini juga kerap disetir oleh eksponen-eksponen elite politik.
Benarkah ada permainan uang dan pemakaian kekuasaan dalam sistem politik Indonesia? Benarkah bahwa ternyata elite politik dan oligarki ini nyata? Dapat diakui kartel politik Indonesia juga memberikan stabilitas di dalam pemerintahan yang memberikan konsekuensi-konsekuensi penting dalam politik Indonesia.
Pertama, kartel politik ini menyusupkan penekanan-penekanan yang bersifat pragmatis. Kedua, kalangan oposisi dengan pemerintahan menjadi tidak jelas malah terkesan cenderung banyak menampilkan persetujuan daripada perbedaan. Ketiga, pengebirian kekuatan massa-rakyat, praktiknya apabila tadi saya menyebutkan bahwa posisi oposisi malah terasa bias ini mungkin karena para kartel dan elite ini melakukan sistem merangkul (inclusion), sementara untuk menghilangkan kekuatan massa rakyat dilakukan mekanisme penyingkiran (exclusion). Meskipun sistem kartel politik, oligarki, dan illiberalisme menampilkan banyak kelemahan. Sebagai akibatnya, ia membuat kualitas demokrasi menjadi sangat rendah. Namun, seperti yang dikatakan William Case, justru rendahnya kualitas demokrasi inilah yang membuat sistem yang demokratis ini bisa bertahan.
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Tulisan dapat berbentuk opini, esai ringan, atau tulisan ringan lainnya dari ide-idemu sendiri. Ingin tulisanmu juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.