Sejatinya, di dalam UUD 1945, terdapat pasal-pasal yang sangat mengacu pada demokrasi liberal yaitu, Pasal 1 ayat (2), Pasal 27, 28, 29 ayat (2) dan Pasal 31. Pendapat saya tentang demokrasi illiberal ini sebenarnya berkonotasi negatif, karena ideologi ini seolah-olah tidak mengusung tegak pada sistem demokrasi secara nyata, yang mana seharusnya demokrasi itu dianggap mampu mendorong kesetaraan akses dan partisipasi politik setiap masyarakatnya.
Namun kenyataannya pilar masyarakat (civil society) di negara kita yang biasanya berwujud dalam organisasi, partai politik, lembaga pers, mahasiswa dan akademisi terasa makin bias dan kabur karena ditunggangi oleh penguasa dan jaringannya sehingga menguatkan opini bahwa Indonesia masih menganut sistem demokrasi illiberal atau dalam hal ini juga sama seperti yang diterapkan Soekarno dalam ideologi demokrasi terpimpinnya dan demokrasi pancasila yang diagung-agungkan oleh Suharto.
Terminologi negatif lainnya untuk mendefinisikan demokrasi illiberal ini adalah demokrasi kosong. Karena adanya demarkasi atau batas pemisah antara penguasa dan rakyatnya, selain itu rakyat hanya sebagai objek pelaksananya saja. Praktik yang dilakukan di negara kita ini perlu dilakukan penyelisikan kembali. Karena pelaksanaan pemilu lima tahunan kita lebih mengarah kepada pelaksanaan normatif ketimbang substantif yaitu, Indonesia menduduki peringkat paling tinggi dalam pelaksanaan pemilu yang dinilai dari angka namun Indonesia turun drastis apabila kita selisik dari isi dan bobot.
Hal ini menandakan dari banyaknya pemilu di Indonesia yang malah bersifat ‘kosong’ dan tidak memiliki arti apa-apa dalam pelaksanaan demokrasi kita. Rakyat hanya sebagai alat dan elektoral bagi para politisi untuk mendapat suara dan menduduki parlemen dan fraksi-fraksi di pemerintahan.
Setelah pemilu selesai para elite dan penguasa ini cenderung menutup mata dan telinga terhadap realitas yang terjadi di negara kita. Ruang gerak masyarakat juga dibatasi dan direpresi berbagai aparat dan aturan-aturan, RUU dan UU yang memenjarakan demokrasi yang nyata. Semua hantu-hantu demokrasi kosong ini semakin menakutkan karena hal ini juga menimbulkan runtuhnya pilar masyarakat (civil society) dan lemahnya perlindungan HAM.
Salah satu tanda keruntuhan pilar masyarakat kita adalah munculnya berbagai jargon-jargon, narasi, dan slogan-slogan untuk mematikan manuver bergerak para aktor masyarakat sipil yang membuat ketakutan tersendiri bagi saya. Padahal, dengan adanya kritikan dari berbagai lapisan masyarakat berfungsi sebagai upaya penting dalam mengawal demokrasi. Dengan hadirnya banyak organisasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berperan penting dalam melakukan checks and balances agar lembaga negara tidak berbuat sewenang-wenang.
Hadirnya organisasi-organisasi tersebut, membuat wadah bagi aktor-aktor masyarakat sipil untuk mengawal lembaga negara dalam berbagai bidang. Namun ironisnya wadah masyarakat ini malah dijadikan, dimanfaatkan dan mengalami penyusutan karena ditunggangi oleh para penguasa dan jaringannya (oligarki), Dalam buku Oligarki: Teori dan Kritik, wacana global juga turut mempromosikan neoliberalisme yaitu konsep tentang transisi ekonomi politik, demokrasi, pemerintahan yang baik, pertumbuhan ekonomi dan sejenisnya yang menjadi acuan utama para negarawan, aktivis dan akademisi dalam mengadvokasi agenda-agenda reformasi institusional.
Ironisnya, kegagalan jargon-jargon neoliberalisme mengacu pada fakta ketimpangan ekonomi yang terus menajam serta makin menguatnya kecenderungan illiberalisme dalam demokrasi di indonesia. Hal ini tidak pernah diakui sebagai indikasi keterbatasan teori modernisasi dan turunannya dalam menjawab persoalan-persoalan politik di Indonesia.
Dijelaskan juga dalam buku Oligarki: Teori dan Kritik, bahwa kemenangan Jokowi ˗˗sosok yang tidak terhubung dengan kekuatan politik lama serta tidak masuk dalam kategori sebagai konglomerat˗˗ dalam pemilihan umum tahun 2014 dan 2019 melawan Prabowo Subianto ˗˗konglomerat purnawirawan jenderal yang juga mantan menantu Suharto˗˗ kerap disetir oleh beberapa eksponen pluralis atas para tokoh dibaliknya sebagai bentuk kemenangan oligarki melawan oligarki.