Perlu diketahui, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, parameter doktrin business judgment rule untuk dapat digunakan sebagai payung hukum atas keputusan bisnis direksi adalah apabila keputusan bisnis yang diambil telah berdasarkan prinsip itikad baik (good faith) dan tanggung jawab, yaitu prinsip yang mewajibkan anggota direksi untuk dapat dipercaya dalam melaksanakan pengurusan perseroan (fiduciary duty), melaksanakan pengurusan perseroan untuk tujuan perseroan, loyal terhadap perseroan, dan menghindari benturan kepentingan pribadi.
Keputusan bisnis yang diambil juga harus berdasarkan prinsip kehati-hatian (duty care), yaitu dalam pengambilan keputusan, tidak boleh mengabaikan ketentuan hukum dan Anggaran Dasar Perseroan yang berlaku. Selain itu, keputusan bisnis yang diambil, telah dibarengi dengan pertimbangan risiko bisnis (business judgment risk), yaitu direksi telah melaksanakan pengurusan perseroan dengan pertimbangan yang wajar (reasonable judgment) sesuai dengan praktik bisnis yang lazim berlaku.
Sementara itu, terdapat ketidakpastian dalam pelaksanaan business judgment rule sebagai immunity doctrine bagi direksi BUMN. Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang menyatakan bahwa terhadap perseroan berlaku prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maka sudah seharusnya BUMN memiliki orientasi layaknya badan usaha atau perusahaan, yaitu berorientasi terhadap keuntungan (profit oriented) dan terhadap risiko kerugian karena karakteristik bisnis yang sulit untuk diprediksi (unpredictable).
Akan tetapi, yang terjadi adalah penegak hukum melihat kerugian yang dialami BUMN akibat keputusan bisnis yang diambil oleh anggota direksi diidentikkan sebagai kerugian negara, padahal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, bahwa BUMN merupakan badan usaha yang kekayaannya dipisahkan dari kekayaan negara, sehingga kerugian yang terjadi bukan merupakan kerugian negara, melainkan kerugian perseroan.
Kerugian BUMN tersebut kemudian oleh penegak hukum ditarik sebagai suatu tindak pidana korupsi dan dianggap memenuhi unsur delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan ditetapkan sebagai tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.