Di satu sisi, negara Islam ingin kembali menghidupkan hukum syari’ahnya, yang berarti memberlakukan kembali hukum badd, jarimah hudud dan qisas, khususnya pidana mati (Habib Sulthon A, 2017). Namun di sisi lain, negara Barat berpegang teguh pada nilai universal HAM—menghormati hak hidup, memberikan penghormatan dan perlindungan. Jika menilik dari pendapat A.K. Bukhori, baik Islam maupun Barat sebetulnya saling mengupayakan tercapainya pemeliharaan HAM dan kemerdekaan individu dalam masyarakat.
Akan tetapi, Barat memaknai konsep HAM sebagai sifat anthroposentris, di mana manusia adalah ukuran dari segalanya (segala sesuatu terkonsentrasi pada manusia), dan manusia dianggap sebagai pemilik penuh atas hak-hak tersebut. HAM Barat berawal dari pemikiran filosofis murni, karena seluruhnya merupakan produk dari otak manusia. Berdasarkan pandangan yang bersifat anthroposentris tersebut, maka nilai-nilai utama dari budaya Barat, seperti demokrasi, institusi sosial sebagai perangkat yang mendukung penegakan HAM, berpedoman pada penghormatan kepada manusia.
Dengan kata lain, manusia adalah sasaran akhir dari perwujudan hak asasi tersebut (Ahmad Kosasih, 2003). Menurut pandangan Islam, HAM dimaknai dengan konsep yang lebih theosentris (segala sesuatu berpusat kepada Tuhan), sehingga dalam hal ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang dititipi hak asasi dari Tuhan, bukan sebagai pemilik mutlak.
Hukum pidana Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Haidts, yang jelas menghalalkan hukuman mati sehingga hukuman tersebut dianggap relevan karena dalam Al-Qurtubi dijelaskan bahwa dasar hukum ayat Al-Qur’an tentang hukuman mati adalah “jiwa dibalas dengan jiwa” (Habib Sulthon A, 2017). Berbanding terbalik dengan Barat yang memaknai HAM dengan konsep anthroposentris, hukuman mati dalam Islam dinilai sangat kejam dan tidak manusiawi, karena menurut pemikiran Barat, hak hidup seseorang haruslah dibela dan di pertahankan, dan tidak ada seorang pun yang dapat mencabut hak tersebut.
Pro dan Kontra Pemberlakuan Hukuman Mati di Indonesia
Di Indonesia, hukuman pidana mati diberlakukan sebagai hukuman akhir untuk mengeksekusi para terpidana yang melakukan tindak pidana berat, seperti narkoba, terorisme, genosida, korupsi, dan kejahatan pidana berat lainnya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Mengingat Indonesia bukanlah negara Islam, namun menganut konsep rule of law yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila, serta didukung dengan adanya undang-undang tentang perlindungan HAM yang dimuat dalam Pasal 28A-28J, tentu keputusan hukuman pidana mati menuai pro dan kontra dari masyarakat.
Berkaca pada pendapat Hartawi AM dalam (Djoko Prakoso Nurwachid, 1985:14), ancaman pidana mati merupakan salah satu upaya untuk social defence. Social defence ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana tersebut. Di samping itu, hukuman pidana mati juga dilakukan guna menumbuhkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana dan memberikan rasa takut bagi orang yang potensial menjadi pelaku tindak pidana (Warih Anjari, 2015). Tak cukup sampai disitu, hukuman mati dinilai setimpal dan dapat memenuhi rasa keadilan dalam jiwa masyarakat yang menjadi korban kejahatan si pelaku tindak pidana.