Manusia dilahirkan ke dunia membawa hak yang melekat dalam dirinya sebagai anugerah dari Tuhan. Hak tersebut biasa disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia tersusun dari tiga kata, yaitu hak, asasi, dan manusia. Hak memiliki arti kepunyaan atau milik atau dapat diartikan juga sebagai kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Asasi berasal dari kata asas yang berarti dasar atau pokok, asasi memiliki arti yang dasar atau yang pokok. Manusia didefinisikan sebagai makhluk yang memiliki akal dan budi (El-Muhtaj, 2005). Maka dapat diartikan bahwa hak asasi manusia merupakan milik atau kepunyaan yang bersifat mendasar atau pokok melekat pada individu sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa (Riswan Munthe, 2015).
Martabat, kemerdekaan, dan kesetaraan adalah tiga nilai yang mendasari HAM. Sebagai anugerah dari Tuhan, HAM bersifat kodrati, universal, tidak dapat dicabut atau dibagi. Melihat begitu pentingnya HAM, hampir seluruh negara di dunia ini memiliki aturan untuk melindungi hak asasi warga negaranya. Bahkan PBB memiliki aturan tentang HAM yang termuat dalam Declaration of Human Rights (selanjutnya disebut DUHAM) yang kemudian melahirkan dua kovenan/pakta yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Namun, meskipun aturan untuk melindungi HAM sudah dibentuk dengan baik, pelanggaran HAM masih terus terjadi dan belum mampu di selesaikan. Sebagai contoh, pelanggaran HAM mengenai Human Trafficking atau perdagangan orang.
Human Trafficking merupakan modernisasi dari perbudakan manusia. Korban Human Trafficking biasanya berasal dari masyarakat ekonomi rendah dan memiliki moralitas serta pemahaman agama yang kurang. Sasaran utamanya adalah perempuan dan anak-anak sebagai kelompok rentan.. Korban-korban dipaksa bekerja, dijual untuk kepentingan seks atau kawin paksa (Riswan Munthe, 2015).
Terkait dengan permasalahan ini, masyarakat internasional sudah memiliki protokol PBB sebagai upaya mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak. Protokol ini sudah berlaku sejak 25 Desember 2003, bersifat melengkapi the United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
Definisi Human Trafficking menurut Pasal 3 Protokol PBB, yaitu, “Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat atau memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.” (Riswan Munthe, 2015). Human Trafficking telah terjadi apabila tiga unsur yang dimuat dalam Pasal tersebut terpenuhi secara kumulatif.
Ketiga unsur tersebut adalah cara, proses, dan tujuan. Kegiatan tersebut harus terjadi melalui cara dan proses yang bertujuan untuk melakukan eksploitasi. Tindakan yang diartikan sebagai unsur Proses adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang. Cara, merupakan tindakan dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk paksaan lain, , penipuan, kecurangan, penculikan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima keuntungan atau bayaran guna memperoleh izin dari seseorang yang memiliki kuasa atas orang lain. Tujuan, ialah untuk tujuan eksploitasi (Maslihati Nur Hidayati, 2012).
Kasus Human Trafficking ini merupakan ancaman bagi dunia internasional, terus terjadi dan belum mampu diselesaikan. Di Indonesia sendiri kasus ini sudah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan Indonesia sudah mendapatkan pengawasan dari dunia internasional. Menurut kajian tahunan yang dirilis oleh Kemenlu AS, Indonesia belum mampu memenuhi standar minimun upaya penghapusan perdagangan oraang, menjadikan Indonesia tetap berada di Tier II. Posisi ini sudah diduduki sejak tahun 2010, meskipun setiap tahunnya pemerintah sudah melakukan langkah-langkah yang cukup signifikan (Sumber:https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/laporan-tahunan-perdagangan-orang-2020/).
Indonesia bukan hanya asal utama dan tujuan, melainkan juga tempat transit bagi para pekerja paksa dan korban perdagangan orang. Pada tahun 2016 pemerintah memperkirakan 1,9 juta dari 4,5 juta WNI yang bekerja di luar negeri kebanyakan berada di negara Malaysia dan Arab Saudi tidak memiliki dokumen atau telah melewati batas izin tinggal serta mereka tidak bisa pulang ke Negara mereka di karenakan terjerat hutang (Sumber: https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/laporan-tahunan-perdagangan-orang-2016/).
Terdapat pula kasus tentang WNI yang dipaksa bekerja dengan keras dan tidak diperbolehkan pergi dari pekerjaannya dan di penjara secara paksa. Mereka adalah buruh Indonesia yang bekerja menangkap ikan dibawah pimpinan perusahaan asal Taiwan dan Korea Selatan (Perusahaan Cangkang). Sudah banyak laporan mengenai kasus ini dimana perusahaan yang bersangkutan menggunakan dokumen identitas palsu Thailand untuk pekerja luar negeri, kemudian memaksa mereka untuk bekerja menangkap ikan di perairan Indonesia. Mengancam akan membongkar idetitas palsu mereka jika melaporkan pihak otoritas Indonesia.
Human Trafficking merupakan pelanggaran berat terhadap HAM, karena mengekang kebebasan individu. Hampir setiap negara memiliki catatan perdagangan manusia, upaya-upaya untuk mengatasi persoalan ini harus terus dilakukan. Para korban Human Trafficking bisa mengalami trauma berat, bahkan mereka yang menjadi pekerja seks tidak jarang terjangkit penyakit, seperti HIV AIDS. Membuktikan bahwa persoalan ini memberikan kerugian material serta non-material yang tinggi.
Pemerintah di setiap Negara merupakan institusi yang memiliki kewajiban untuk melindungi dan menegakkan HAM setiap warganya, di atur dalam Universal Declaration of Human Rights. Kendala dalam upaya pemberantasan kejahatan perdagangan orang terjadi karena dari segi pemerintah yang masih memiliki kelemahan pada penegakan hukumnya, serta kurangnya kepekaan masyarakat dan pejabat terhadap kasus ini. Bahkan banyak diberitakan bahwa ada keterlibatan pejabat dalam beberapa kasus perdagangan orang.
Untuk menyikapi persoalan ini Indonesia sudah membuat payung hukum untuk memberikan sanksi kepada mereka yang melakukan kejahatan ini. Tertuang dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pengesahan UU PTPPO di Indonesia adalah bagian dari harapan masyarakat dan pemerintah untuk menekan angka pelanggaran HAM, khusunya dalam Human Trafficking dimana para korban di paksa untuk eksplotasi seksual dan kerja paksa. Sedangkan upaya pengaturan pemberantasan dan pencegahan Human Trafficking di dunia internasional adalah melalui penegakan Protokol Palermo
Human Trafficking sebagai kejahatan HAM bisa di minimalisir kejadiannya dengan cara di lakukan sosialisasi dan peningkatan kapasitas di kalangan aparat penegak hukum beserta Satuan Kerja Perangkat sebagai pelaksanaan UU PTPPO dan peraturan Daerah yang terkait dengan perdagangan orang. Serta mengharmonisasikan segala kebijakan, hukum dan peraturan yang telah dan akan ada dengan UU TPPPO dan Perda yang terkait sebagai payung hukum dalam pemberantasan tindak pidana perdaggangan. Mengawasi lebih ketat dan menutup tempat penampungan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang melakukan penipuan dan pembatasan ruang gerak para calon buruh migran (Maslihati Nur Hidayat, 2012).
Melihat kasus Human Trafficking di Indonesia maupun di dunia internasional yang masih belum dapat diselesaikan, membuktikan bahwa persoalan ini harus semakin diperhatikan. Pemberian pemahaman kepada masyarakat sangat diperlukan, bertujuan untuk membuat masyarakat mampu melindungi dirinya sendiri dari tawaran menggiurkan yang diberikan oleh para pelaku kejahatan perdagangan orang. Penegakan hukum dari instrumen yang sudah dibentuk sebelumnya pun harus semakin dipertegas lagi. Pejabat negara maupun pejabat pemerintahan harus diberikan pengarahan agar bisa lebih peka terhadap persoalan Human Trafficking.
Baca juga: