Tetapi jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, hukuman mati dianggap melanggar hak hidup manusia, dimana hak untuk hidup ini merupakan kategori non-derogable right, yaitu hak asasi yang tidak dapat dicabut, ditunda, atau dikurangi pemenuhan haknya dalam kondisi maupun keadaan apapun. Penjatuhan hukuman mati juga dinilai dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tanpa dasar hukum sah yang berlaku, hingga jika kemudian hari terbukti adanya kesalahan dalam putusan pidana mati sementara pelaku sudah mati, hal ini hanya bisa mengembalikan nama baik pelaku, tanpa bisa mengembalikan kehidupannya (Karina Ayu N., 2017).
Kesimpulan
Hukuman pidana mati antara Islam dan Barat pada hakikatnya memang seperti tidak menemukan titik temu dikarenakan perbedaan prinsip, dimana Barat menganut prinsip antroposentris, sehingga lebih menitikberatkan kewajiban dan hak individu atas hak asasinya. Sedangkan Islam menganut prinsip theosentris, sehingga wajar jika dalam kalangan Islam, pemberlakuan hukuman mati sah saja diterapkan, mengingat hal tersebut bersumber pada Tuhan dan Al-Qur’an.
Dalam konteks pemberlakuan hukuman mati di Indonesia tentu masih menemukan kerancuan, hal ini disebabkan Indonesia bukanlah negara Islam, namun berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, serta diperkuat dengan Pasal-Pasal yang mengatur tentang perlindungan HAM, membuat aturan pidana mati di Indonesia seolah mengalami kebingungan. Untuk menjawab kerancuan tersebut, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan hukuman mati di Indonesia dan memilih konsep HAM mana yang akan menjadi acuan: HAM Barat atau HAM Islam.
Baca juga: