Menanggapi hal tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Edaran (SE) No 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Terkait Dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi agar risiko kejahatan korupsi penggunaan anggaran dalam masa penanganan COVID-19 ini tidak terjadi. Kejahatan white collar atau biasa disebut korupsi biasanya terjadi dalam penyalahgunaan wewenang jabatan, kejahatan yang kemungkinan dapat terjadi dalam masa penanganan COVID-19 ini adalah korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi bantuan sosial ekonomi kepada masyarakat, korupsi dana desa, korupsi pengadaan alat kesehatan pada Rumah Sakit rujukan, atau korupsi di lingkungan pekerjaan umum. Langkah ini diambil sebagai respon KPK terkait arahan dari Presiden agar KPK juga turut serta mengawasi proses percepatan penanganan COVID-19 di Indonesia.
Institusi Penegakan Hukum
Untuk mengatasinya, KPK tidak dapat bekerja sendiri. KPK harus bersinergi dengan TNI/POLRI, Kejaksaan, APIP, BPKP dan BPK untuk melakukan pengawalan dan pendampingan terkait pelaksanaan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah. Pendampingan yang dapat dilakukan seperti menghindari persoalan yang terkait dengan administrasi keuangan, memahami secara detail setiap kebijakan yang telah dibuat kemudian membandingkan dengan teknis dilapangan, melakukan pendampingan terkait bantuan sosial dan ekonomi dalam rangka penanganan COVID-19 yang bersumber dari APBN, APBD ataupun APBDes.
Risiko kejahatan akan tindakan korupsi di tingkat Pusat maupun Daerah saat Pemerintah melakukan refocusing anggaran untuk pengentasan kasus ini dapat meningkat, oleh karena itu diperlukan perhatian dan kecermatan atas risiko kejahatan yang dapat muncul. Pendampingan ini dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan Pemerintah untuk menangani permasalahan wabah COVID-19 dari segala sector dapat teratasi terutama sosial dan ekonomi sehingga anggaran yang dibelanjakan dapat berjalan secara transparan dan akuntabel sehingga fraud atau korupsi dapat terhindar.
Selain pendampingan, tindakan pencegahan korupsi dilakukan dengan koordinasi, monitoring secara rutin untuk mengawal penggunaan anggaran dalam mengatasi permasalahn ini. Pemahaman atas dasar litigasi harus disematkan bagi para penegak hukum apabila terjadi sebuah pelanggaran terhadap penyaluran anggaran yang telah diatur oleh Pemerintah melalui peraturan dan kebijakan. Tidak hanya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah juga membuat kebijakan khusus di daerah masing-masing menyesuaikan dengan kondisi selama terjadinya wabah pandemi COVID-19. Hal ini juga terkait dengan sejumlah anggaran dalam bentuk transfer daerah DAU, DAK ataupun TKDD yang dialokasikan khusus penanganan COVID-19.
Hingga 8 Mei 2020, 479 daerah telah menyampaikan Laporan Penyesuaian APBD. Dari laporan ini, komposisi belanja daerah mengalami perubahan yaitu adanya penurunan belanja barang/jasa dari 24,87% menjadi 20,86%, dan modal dari 18,16% menjadi 12,89%. Di sisi lain, ada kenaikan belanja lainnya yaitu dari 24,63% menjadi 30,33% yang ditujukan untuk a.l. bansos dan belanja tidak terduga. Total belanja yang direalokasi dan refocusing adalah sebesar Rp 51,09 triliun, yang ditujukan untuk Bidang Kesehatan (COVID-19) sebesar Rp22,34 triliun; Jaring Pengaman Sosial sebesar Rp18,88 triliun; dan Penanganan Dampak Ekonomi sebesar Rp9,88 triliun (Kemenkeu, 2020).
Pengawalan Anggaran
Apabila terdapat pelanggaran hukum pada masa refocusing anggaran tersebut, para penegak hukum segera melakukan langkah-langkah yang cepat dan tak lupa untuk merujuk lagi peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Peraturan yang dibuat hendaknya juga diikuti dengan sanksi yang diberikan baik secara administratif, denda hingga kurungan penjara agar memberi efek jera. Ada pesan bahwa “Jangan berbahagia diatas penderitaan orang lain”, ini mendefinisikan bahwa tidak boleh memanfaatkan momen ini sebagai ajang memperkaya diri dengan berbagai modus dengan cara penyelewengan atau korupsi anggaran untuk pengentasan wabah COVID-19.