Fenomena alergi terhadap hukum seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berbicara tentang hukum, kerapkali mudah diasosiasikan dengan sanksi yang berat dan sarat oleh ketidakadilan. Tidak peduli adil bagi siapa, pelaku atau korban, yang disanksi atau yang menyebabkan adanya sanksi.
Ini bukan tanpa alasan, karena menjadi biasan kejujuran atas kenyataan yang belum sesuai dengan harapan. Bahkan sebagai contoh dalam konteks berbeda, untuk “menyucikan” persepsi sebuah organisasi wadah sosial-karitatif, orang dapat mengatakan bahwa “ini bukan organisasi yang lekat dengan aturan formal (hukum), kenapa harus taat pada aturan formal?”
Padahal, dalam setiap kelompok yang memiliki tujuan, pasti ada aturan yang mengikat dan mengatur agar berbagai kepentingan para anggota dapat berjalan sebagaimana mestinya. Aturan merupakan kesepakatan yang dibuat dan memiliki jangkauan tujuan yang terukur serta rasional. Jika tidak ada aturan, cepat atau lambat organisasi atau kelompok tersebut akan bubar, setelah sebelumnya menuai berbagai problem akibat tidak dibatasinya hak dan kewajiban para individu.
Perspektif dunia sebagai sebuah tatanan kehidupan, tidak mungkin menyingkirkan polesannya dari berbagai aturan yang berisi larangan, yang dikuatkan dengan sanksi bagi pelanggarnya. Itulah salah satu bentuk hukum dalam penjabarannya, untuk menjamin hak masing-masing pribadi atau kelompok. Caeanya dengan menetapkan hak dan kewajiban agar dilaksanakan demi tercapinya suatu kondisi ideal yang membahagiakan.