Hukum dibuat untuk menjadi adil, pasti, dan bermanfaat. Oleh karena itu, bahasa hukum dirasakan menjadi cenderung retoris, karena selalu diulang dengan logika yang telah dibatasi dalam konteks hukum itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Roberto Unger dalam The Critical Legal Studies Movement, bahwa ketidakpastian doktrin hukum lebih bersifat membebaskan dan bukannya merusak. Dan semua itu terbuka bagi kemungkinan teori mengenai praktik hukum, sebagai hal yang tersusun dari argumen-argumen yang berasal dari berbagai cita-cita sosial atau institusional yang beragam. Dalam hal ini Unger semakin menegaskan bahwa hukum itu tidak statis dan bukan hanya didasarkan pada yang tertulis. Sebab pada dasarnya sebuah cita-cita hukum yang ideal tidak menegasikan aspek legalitas, karena jargon nullum delictum nulla poena sine previae lege poenali (tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman – tanpa ada aturan hukuman yang mengatur sebelumnya), justru mempertegas makna hukum sebagai kepastian yang selalu dinamis dan dicita-citakan oleh segenap masyarakat dalam sebuah negara hukum.
Hukum dari hukum merupakan sebuah simbol kejujuran akan nilai kebaikan yang faktanya telah menghempaskan berbagai dalih kebohongan yang bersembunyi di belakang sebuah niat jahat yang mengatasnamakan hal yang baik dan benar.
Hukumnya hukum lahir dari kemahakuasaan atas arti kebenaran dan keadilan yang sejati, dan ia akan berbicara lantang pada tempat dan saat yang tepat. Realita manusiawi kita pun akan selalu merindukannya, terutama saat-saat kenestapaan mampir menimpa jiwa dan raga tak bersalah, yang dalam setiap sesaknya tarikan nafas, memohonkan keadilan yang hilang oleh ulah tirani penguasa.
Dan di sanalah jeritan keadilan membahana dari relung jiwa terdalam, menjadi sebuah resonansi dalam frekuensi yang sama, seolah mengundang hadirnya hukum yang mengatasi hukum yang ada, sebagai perintah pemilik kehidupan.