Bayangkan, jika dalam sebuah negara tidak ada aturan yang bersanksi, negara tersebut akan hancur oleh situasi chaos berkepanjangan. Pelaku kejahatan akan merajalela, sementara korban akan bergelimpangan tanpa ada dasar untuk mencegah dan memulihkan kondisi tersebut. Kesadaran bahwa sesuatu sejak awal adalah jahat (mala in se) saja tidaklah cukup untuk meredam dampak terjadinya kejahatan. Perlu ada pelarangan terhadap kejahatan (mala prohibita) yang sanksinya diatur secara adil.
Hukum memang selalu menyisakan ketidakpuasan dalam pengungkapannya. Bahkan bahasa hukum seringkali dimaklumi. Ketika dalam praktiknya menerjemahkan realitas sosial menurut istilahnya sendiri, dengan tujuan untuk mengontrol fakta-fakta hukum yang terjadi (sui generis). Selain itu, penggunaan istilah yang khusus dapat menciptakan heteroglosia, yang dalam lingkup persepsi seolah mendeklarasikan dirinya tanpa beban, seakan-akan berdiri tegak dalam kehampaan ruang yang tanpa cela.
Ruang hampa seperti inilah yang seringkali menimbulkan penyalahgunaan hukum, melalui pembalikan perspektif, baik oleh penegak maupun masyarakat awam. Keadaan ini berpotensi menimbulkan manipulasi sosial atas hukum, yang terjadi berdasarkan kemungkinan niat penggunanya sendiri untuk mengarahkan seperti apa output yang menguntungkan dari hukum.
Banyak contoh terjadi, salah satunya adalah kasus paling hangat yang terjadi saat ini. Sebuah peristiwa hukum yang coba direkayasa, walaupun akhirnya terungkap juga siapa saja para dalang dibalik misteri tragis tersebut. Dinamika kasus ini menunjukkan bahwa hukum hendak diarahkan sesuai skenario drama sang sutradara, tetapi perlahan namun pasti kejahatan mulai ditumbangkan oleh hukum yang sebenarnya dari hukum yang berlaku, yaitu hukum yang didasari oleh hakikat kebenaran, kebaikan, dan keadilan.