Kerapkali kita menemukan ada korban kecelakaan pesawat ataupun ahli warisnya yang ingin menuntut hak-haknya ataupun meminta pertanggungjawaban kepada maskapai penerbangan. Pihak maskapai penerbangan berkewajiban memberi ganti rugi atas terjadinya kecelakaan pesawat kepada korban ataupun ahli warisnya. Meski demikian, tetap saja jika terjadi kecelakaan hingga menghilangkan nyawa, sebagian orang tentu tidak terima hanya dengan ganti rugi saja.
Ketidakterimaannya itu kerapkali diwujudkan dengan menginginkan pertanggungjawaban yang lebih terhadap pihak maskapai. Namun untuk mewujudkannya, terdapat kendala-kendala seperti hasil investigasi KNKT yang tidak dapat dijadikan alat bukti di Pengadilan. Apakah hal tersebut benar? Tulisan ini akan memaparkan analisa singkat untuk menjawabnya.
2 Model Ganti Kerugian
Menjadi hal yang wajar apabila dalam kecelakaan pesawat udara, pihak yang akan selalu dinyatakan bertanggung jawab, baik dibuktikan atau tidak dibuktikan kesalahannya adalah pihak pengangkut atau maskapai penerbangan (K. Martono dan Agus Pramono, 2016: 146). UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) telah memberikan pengertian pertanggungjawaban dalam Pasal 1 Angka 22, yakni “Tanggung Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.” Secara garis besar, Penulis mengelompokkan dua jenis ganti kerugian yang dikenal UU Penerbangan sebagai akibat adanya tanggungjawab pengangkut.
Pertama, ganti kerugian yang diatur di Pasal 141 Ayat (1) UU a quo yang mesti diberikan pengangkut (maskapai penerbangan) atas kerugian penumpang. Kerugian yang dimaksud disini adalah kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap (kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam pengertian cacat tetap adalah cacat mental sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian) atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang selanjutnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri dan diberikan diluar ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 165 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Penerbangan).
Kedua, ganti kerugian tambahan yang diatur di Pasal 141 Ayat (3) UU a quo, selengkapnya berbunyi “Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.” Ganti kerugian ini bersifat subjektif karena hanya diperoleh bagi korban atau ahli waris yang masih belum “puas” dengan ganti kerugian yang telah diberikan. Untuk jumlah ganti kerugiannya tergantung kebutuhan korban atau ahli warisnya dan tetap menunggu hasil putusan pengadilan.
Tidak Ada Alat Bukti untuk Ganti Kerugian Tambahan
Salah satu prinsip pertanggungjawaban dalam hukum pengangkutan adalah based on fault liability. Konsekuensinya, beban pembuktian ada pada pihak penumpang atau pengirim barang yang harus dapat memenuhi unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu (Adhy Riadhy dan Sarah Amalia, 2019: 24-25). Kaitannya dengan pembahasan diatas, korban atau ahli waris jika hendak menempuh jalur pengadilan perlu alat bukti. Seperti diataranya: (a) pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi; (b) rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara; (c) informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian; (d) rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut; (e) rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services); dan (f) pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorder). Inilah yang menjadi permasalahan. Keenam alat bukti diatas hanya dapat diperoleh melalui hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Sedang, hasil investigasi KNKT tidak dapat dijadikan alat bukti di peradilan.
Pasal 359 Ayat (1) UU Penerbangan telah mengatur bahwa “hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.” Kemudian diperjelas dengan bunyi Pasal 48 PP No. 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaaan Transportasi bahwa yang tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan meliputi semua dokumen yang berkaitan dengan seluruh proses investigasi kecelakaan transportasi sampai dengan laporan Investigasi Kecelakaan Transportasi yang terdiri atas: (a) pemberitahuan (notification); (b) laporan awal (preliminary report); dan (c) laporan akhir (final report). Kemudian turut diperjelas dengan Pasal 53 PP No. 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaaan Transportasi, bahwa Investigasi Kecelakaan Transportasi adalah kegiatan penelitian terhadap penyebab kecelakaan transportasi dengan cara pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data secara sistematis dan objektif agar tidak terjadi kecelakaan transportasi dengan penyebab yang sama.