Dari sebelas kasus yang telah disebutkan sebelumnya, penulis hanya akan berfokus pada konflik yang ada di Desa Curahnongko. Sebelum melangkah lebih jauh ke tahap pembahasan, seyogyanya ada beberapa hal yang perlu kita ketahui terlebih dahulu memahami keterkaitan tanah dengan kehidupan di masyarakat serta dampak tata ruang.
Pada dasarnya fungsi lahan sangat sentral bagi para penduduk desa. Menurut Aditya Wardhono lahan merupakan aset yang terpenting bagi masyarakat karena dapat menggerakkan kegiatan produksi. Adapun dalam ketetapan MPR RI Tahun 1990 tentang GBHN menyatakan bahwa penguasaan dan penataan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dalam mewujudkan keadilan sosial. Hal tersebut memiliki arti bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus mengarah pada keadilan sosial. Penguasaan tanah Negara harus pada tujuan pemanfaatan dan memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Selain itu, tidak menimbulkan sengketa.
Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Bahwasanya semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial, yaitu tanah harus digunakan sesuai keadaan. Dengan demikian, tata ruang yang salah akan berakibat fatal pada pembangunan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah hendaknya harus mencakup rasa keadilan. Namun karena ukuran keadilan kini sangatlah relatif, muncul teori baru seperti teori kemanfaatan dan teori kepastian. Oleh karena itu, regulasi RT/RW harus diupayakan dapat memenuhi ketiga teori tersebut.Selama ini, penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai RT/RW Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam RT/RW kabupaten/kota pada tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.
Terkait hal diatas, penulis ingin menelisik terkait dengan sengketa-sengketa yang ada di Jember. Salah satu sengketa yang belum terselesaikan adalah terkait dengan kasus antara warga desa Curahnongko dan desa andongrejo, kecamatan Tempurejo. Dimana ketua Wartani Yateni mengklaim bahwa tanah seluas 332 Ha yang diminta oleh rakyat sejatinya adalah hak mereka sejak tahun 1942. Namun pada tahun 1966 rakyat diusir dari tanah hasil ekplorasi (tanah babatan) yang kemudian dikelola oleh PTPN (Perseoran Terbatas Perkebunan Nusantra) XII Jember. Sampai berakhirnya HGU ( Hak Guna Usaha) PTPN XII Jember pada tahun 2011 rakyat tahun 1998 silam belum juga terpenuhi.