Perbedaan merupakan suatu kekayaan sosial yang tentu memiliki dampak positif dan juga negatif. Upaya pencegahan dampak negatif dari adanya perbedaan seharusnya dilakukan secara massif serta kompeherensif oleh setiap komponen masyarakat. Masyarakat merupakan subjek yang berkecimpung didalam tatanan kehidupan yang seringkali mengalami perbedaan dengan makhluk atau masyarakat yang lainnya.
Selain menjadi subyek yang hidup didalam perbedaan masyarakat pun juga seringkali menjadi oknum yang menciptakan problematika atas dasar perbedaan yang ada. Masyarakat seringkali mendeskriminasi suatu golongan tertentu yang melakukan hal berbeda dari apa yang mereka percaya. Masyarakat seringkali menghakimi suatu golongan tertentu yang masih kental dengan adat serta budaya seperti masyarakat adat serta mengkaitkanya dengan agama.
Hal ini tentu saja sangat kontradiktif dengan tujuan persatuan yang dimiliki bangsa dan juga hak asasi manusia. Karena sesuai dengan uu no 39 tahun 1999 mengenai hak asasi manusia dikatakan dengan jelas bahwasanya setiap manusia diberi hak serta kebebasan dan wajiblah untuk dihormati oleh manusia yang lain. Stereotip yang ada pada paradigma masyarakat tentang sebuah tradisi dan agama inilah yang pada akhirnya seringkali menimbulkan disharmonisasi antara masyarakat luar dengan masyarakat adat itu sendiri.
Padahal seperti yang telah diketahui bersama bahwa masyarakat adat ialah masyarakat yang secara sah diakui negara dan internasional dengan terbitnya pasal 18b ayat 2, 28I ayat 3, 32 ayat 1 dan 3 serta konvensi ILO 169. Oleh karenanya melalui tulisan ini diharapkan bisa tepat untuk mengkaji tentang permasalahan ini serta diharapkan akan lahirnya undang-undang maupun peraturan dan juga lembaga perlindungan bagi masyarakat yang harus timbul guna memperbaiki stigma yang berada dalam masyarakat luar tentang sebuah tradisi dan agama. Pada hakekatnya menjalankan sebuah tradisi maupun budaya dan agama merupakan hak masing-masing individu masyarakat yang seharusnya dihormati oleh individu lain. Penghormatan atas hak-hak orang lain ini harus dianggap penting karena tanpa adanya penghormatan maka akan melahirkan problematika dalam diri kehidupan masyarakat.
Pembahasan
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah yang luas serta dengan jumlah penduduk sekitar 238 juta ( Made Widyadana, 2018). Penduduk sebesar 238 juta ini tentu saja belum termasuk jumlah penduduk yang berstatus sebagai penduduk sementara di Indonesia. Jumlah penduduk yang besar ini tentu menghasilkan kehidupan masyarakat yang majemuk dan tumbuh di dalam keberagaman. Keberagaman yang ada ini mulai dari keberagaman budaya, bahasa dan juga tradisi di dalam golongan masyarakat tertentu.
Jika dilihat dari keberagaman ini sebenarnya keberagamaan ini juga bisa menjadi salah satu kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain serta tentu menjadi pembeda dari negara manapun. Keragaman suatu bangsa yang menjadi kekayaan sosial ini sebenarnya secara hakekat bisa dijadikan sebagai identitas suatu bangsa. Selain termasuk negara yang kaya dengan keberagaman, Indonesia juga merupakan suatu negara yang menyadari jika dalam keragaman juga terdapat perbedaan yang tentu dapat memicu dampak positif serta negatif.
Indonesia sangat mengakui tentang hak asasi manusia guna memaklumi serta menyeimbangkan perbedaan yang ada dengan menjunjung tinggi penghormatan bagi hak-hak yang dimiliki individu lain. Hak asasi merupakan hak-hak dasar yang ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan yang bukan merupakan hasil pemberian dari masyarakat ataupun hukum positif, melainkan karena posisinya sebagai manusia (Eko Riyadi, 2020), hak asasi manusia ini juga termuat dalam UU No. 39 tahun 1999.
Salah satu dari bentuk pengakuan hak asasi manusia adalah kebebasan yang dimiliki individu guna melakukan setiap kegiatanya masing-masing secara benar dan baik. Namun pada realitasnnya perbedaan kebudayaan yang menjadi keberagaman ini belum dikembangkan secara proporsional dan akhirnya keberagamaan ini masih belum bisa menyentuh inti diri dari individu masyarakat sehingga belum bisa menjadi media penumbuh diri (Eka Kurnia dan Nurina Dyah, 2017) dan tidak jarang memicu problematika atas nama ego kelompok tertentu.