Keberagaman yang bervariasi ini tentu berdasarkan faktor banyaknya masyarakat adat yang ada di Indonesia. Masyarakat adat yang telah diakui sebagai masyarakat asli bangsa melalui undang-undang NRI 1945 tentang masyarakat adat dan konferensi ILO No. 169 Tahun 1989 tentang masyarakat adat ini tentu menjadi bukti bagaimana kehadiran masyarakat adat memiliki pengaruh penting dalam perkembangan keberagaman suatu bangsa. Namun, keberagaman yang dimiliki oleh suatu golongan tertentu seperti masyarakat adat seringkali dideskriminasi dan dihakimi oleh masyarakat luar.
Masyarakat luar yang seringkali tidak mengerti tentang asal-usul serta makna kebudayaan tradisi yang ada pada masyarakat adat ini seringkali menjadi penyebab timbulnya stigma dari masyarakat luar kepada masyarakat adat mengenai kebudayaan serta tradisi mereka yang dihubungkan dengan agama. Menurut para ahli antropologi kepercayaan adat merupakan suatu konsepsi yang berkaitan dengan nenek moyang, leluhur, dewa dan juga roh (Eka Kurnia dan Nurina Dyah, 2017).
Sebagaimana dikatakan oleh M. Driyarkara, agama adalah cakupan luas mengenai gejala dan lingkungan hidup serta prinsip (Eka Kurnia dan Nurina Dyah, 2017). Melihat dari segi definisi tentu agama dan kepercayaan adat merupakan 2 hal yang berbeda dan tidak dapat diperdebatkan karena tataran keduanya juga berbeda. Kepercayaan adat merupakan suatu konsepsi sementara agama/religi ini merupakan sebuah prinsip.
Maraknya stereotip dalam stigma masyarakat luar terhadap masyarakat adat ini tentu menyebabkan masyarakat adat sangat terbatas dalam menjalankan hak kebebasan melakukan tradisi yang mereka miliki seperti yang telah termaktub di dalam pasal 28 I Ayat 3 UUD 1945 “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Peristiwa perpecahan pikiran antara masyarakat dan masyarakat luar inipun tidak hanya berpengaruh pada terbatasnya gerak masyarakat adat didalam melakukan tradisi dan budayanya namun juga berpengaruh pada hubungan keduanya. Hubungan masyarakat adat serta masyarakat luar seringkali tidak terjalin dengan baik, sering terjadi sengketa dan juga saling menghakimi satu sama lain. stigma masyarakat luar yang memandang sebagian kepercayaan dan budaya masyarakat adat yang masih kental sebagai penyelewengan dan bertentangan dengan syariat agama.
Padahal di dalam Konverensi ILO 169 pasal 2 tentang konverensi Internasional tentang masyarakat adat dikatakan bahwa “ Indigenous people and individuals are free and equal to all others and individuals and have the right to be free from any kind of discrimination, in the exercise of their rights, in particular that based on their indigenous origin or identity “.
Kegiatan seperti upacara adat, sesajen, dan juga berkorban seringkali menjadi kepercayaan adat yang mendapat anggapan bertentangan dengan agama. Terlebih jika sudah berurusan dengan masyarakat yang menganut islam radikal maka mereka akan selalu menolak dengan keras mengenai kepercayaan tradisi adat yang telah dilakukan secara turun temurun tersebut. Para oknum penganut islam yang radikal seringkali menganggap suatu kepercayaan adat yang bersinggungan dengan nenek moyang adalah suatu perbuatan menyekutukan Tuhan.