Integritas Penegak Hukum
Bahwa hanya sedikit aparat penegak hukum yang berani mengambil resiko dan berani dalam kesendirian. Hal tersebut dibuktikan ketika aparat penegak hukum diperhadapkan dengan mega kasus yang menyeret nama besar.
Tentu situasi tersebut tidak dapat dipungkiri karena pasti ada intervensi baik dari eksternal maupun internal yang menganggu jalannya proses penegakan hukum. Tetapi intervensi tersebut tidak bisa dijadikan alasan terhambatnya proses hukum, karena manusia-manusia terpilih sebagai aparat penegak hukum sudah berada dibawah sumpah jabatan.
Terlebih aparat penegak hukum tidak boleh dalam taraf actus hominis, yang mana actus hominis adalah taraf terendah. Bahwa tindakansemacam ini tidak melukiskan siapakah manusia, melainkan hanya memosisikannya sebagai bagian dari makhluk hidup dengan ciri khas memiliki fisik, bergerak, dan ada.
Terlebih manusia tersebut mengemban jabatan yang menyangkut nasib seseorang. Tentu manusia tersebut sudah memiliki moralitas, integritas, dan rasionalitas. Di mana itu yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Penulis percaya aparat penegak hukum kita sesungguhnya berada dalam taraf Actus humanus. Tentu taraf actus humanus adalah syafat perbuatan moral. Perbuatan moral artinya perbuatan itu berada dalam bingkai konteks penilaian baik/buruk dan terpuji tercela.
Konteksnya penegakan hukum maka aparat diwajibkan memiliki ketegasan, jika memang salah harus mengatakan salah dan sebaliknya, jika memang benar harus mengatakan benar. Itu adalah esensi dari integritas dalam penegakan hukum.
Mengutip pendapat Bernald L. Tanya dan Yovita Mangesti, Paradigma yang harus dibangun dipedomani aparat penegak hukum, bahwa jabatan adalah kehormatan. Kehormatan harus dianggap sebagai prinsip moralitas yang paling utama dalam menjalankan hukum. Tanpa idealisme menjaga kehormatan, maka penegak hukum mudah jatuh dalam godaan.
Hidup terhormat adalah mampu menjaga integritas, setia pada tugas, peka terhadap tanggung jawab. Bahwa idealisme semacam ini sangat penting dalam menjaga hukum sebagai kaidah yang harus mengatur manusia dan kepentingannya secara benar, tepat, bermanfaat, dan adil. Dengan menjaga integritas, kehadiran penegak hukum diimpikan oleh para pencari keadilan. Bahwa yang diharapkan para pencari keadilan itu sederhana yakni proses hukum berjalan adil dan tidak manipulatif.
Kemudian kaitannya dengan postulat bonum communae bono privato praeferri debet yang memiliki arti kepentingan umum lebih penting/harus selalu diutamakan daripada kepentingan pribadi. Maka hal tersebut memang harus benar-benar dipedomani oleh aparat penegak hukum.
Dalam rangka menjaga nama baik dan kredibilitas institusi penegak hukum, kejujuranlah yang akan merawat nama institusi tersebut. Para manusia yang disumpah tadi lah yang akan mengambil pernanan penting dalam kaitannya menjaga reputasi institusi. Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang adalah moralitas aparat penegak hukum.
Bertolak dari prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik, akan dapat diperoleh tolok ukur kinerja suatu penegakan hukum. Baik dan tidak baiknya penyelenggaraan penegakan hukum, dapat dinilai apabila pelaksanaannya telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik, merujuk pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut bergaya moral baik, apabila pelaksanaannya memenuhi elemen-elemen prinsip demokrasi tersebut.
Terakhir, seragam yang digunakan aparat dalam menjalan tugasnya memiliki beban yang sangat luar biasa sebab dibalik seragam itu secara filosofi ada nasib para pencari keadilan yang dipertaruhkan. Maka atribut yang harus melekat bukan apa yang secara lahiriah bisa dilihat tetapi moralitas dan integritas lah yang harus terlihat dan nampak.