Dewasa ini banyak kita jumpai kasus kejahatan di Indonesia, seperti kekerasan, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penipuan, penganiayaan, dan pencurian. Kasus-kasus tersebut termasuk dalam suatu tindakan yang melawan hukum sehingga pelaku dapat dihukum sesuai dengan perbuatannya.
Lalu bagaimana bila terdapat kejahatan yang melanggar hak kepemilikan seseorang seperti hak milik berupa tanah yang dibuktikan dengan sertipikat tanah?
Merujuk Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kekayaan alam seperti bidang pertanahan menjadi krusial bila tidak ditangani dan diselesaikan dengan baik karena berpengaruh bagi seluruh elemen kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai permasalahan mengenai pertanahan berimplikasi kepada seluruh aspek yang berada di Indonesia.
Pemerintah menimbang perlu penegakan hukum bidang pertanahan dengan hukum agraria nasional yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. UU ini berdasarkan pada hukum adat terfokus pada tanah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan tidak melanggar unsur yang terdapat dalam hukum adat. Namun demikian, walaupun sudah terdapat peraturan yang mengatur mengenai sistem pertanahan, sengketa pertanahan di Indonesia justru semakin marak.
Kasus pertanahan di Indonesia semakin carut marut. Hal tersebut dibuktikan pada 2022 terdapat 8.000 kasus sengketa tanah yang masih berkonflik dan jumlah tanah yang bersengketa dalam data pendaftaran terdapat hampir 90 juta. Ada beberapa faktor dalam permasalahan tanah di Indonesia seperti faktor peninggalan atau legacy dari zaman dahulu yang diungkapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A. Djalil pada saat membuka acara Infrastructure Outlook 2022.
Pada 2018-2020 berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai sengketa konflik pertanahan terdapat 8.625 kasus dan baru diselesaikan 63,5% atau baru 5.760 kasus yang telah diselesaikan pada April 2021. Menurut Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Dirjen PSKP) R.B Agus Widjayanto konflik tersebut timbul karena adanya proses jual beli maupun peralihan aset tanah yang tidak sesuai prosedur.
Kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas mengenai sindikat mafia tanah pada sengketa pertanahan tahun 2018-2020, ATR/BPN telah menerima dan menangani 185 kasus pertanahan. Sementara Satgas Anti-Mafia Tanah Kepolisian RI (Polri) pada Bulan Januari-Oktober 2021 menangani 69 kasus adanya mafia tanah dengan 61 orang ditetapkan sebagai tersangka dari jumlah tersebut sebanyak 29 tersangka yang sudah dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum (JPU) untuk melakukan proses persidangan.
Perkembangan perkara mengenai kasus tersebut terdapat lima perkara masih dalam proses penyelidikan, 34 perkara dalam tahap penyidikan, 14 kasus sudah dilimpahkan Tahap I ke Kejaksaan, 15 perkara telah dilakukan pelimpahan Tahap II atau pengiriman barang bukti dan tersangka, serta satu kasus dihentikan penyelidikan dengan pendekatan restorative justice. Terdapat 23 orang belum ditahan dan dua orang masuk dalam daftar pencarian orang diungkapkan oleh Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Ir Dedi Prasetyo pada November 2021.