Memaknai Jabatan
Berbicara mengenai piranti penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. Manusia tersebut yang menjadi bagian dari aparat penegak hukum merupakan manusia-manusia terpilih dan sudah barang tentu memiliki kriteria serta kualifikasi dalam mengemban jabatan mulia tersebut.
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangakaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum hanya dapat terlaksana apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga harmonisasi (keselarasan, keseimbangan dan keserasian) antara moralitas sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil warga negara yang didasarkan pada nilai–nilai aktual di dalam masyarakat. Jika melihat uraian sebelumnya, maka ada tanggung jawab besar yang harus diemban dibalik pernak pernik seragam yang digunakan.
Mengutip pendapat Titus Yoan, Ironinya banyak oknum aparat penegak hukum justru memandang jabatan sebagai tugas estetik, artinya jabatan itu akan dinilai sebagai jabatan bila ada berbagai aksesori yang melekat padanya agar terlihat indah. Jadi jabatan dirinya sebagai polisi, jaksa, dan hakim akan lebih dipandang indah bila ia memiliki banyak uang, beberapa mobil, rumah mewah dan lain sebagainya, tentu hal tersebut tidak semua dilakukan oleh mereka dan hanya oknum saja.
Tidak heran bila kemudian oknum aparat penegak hukum sering kali menerima gratifikasi untuk membiayai keinginannya dalam menghias jabatannya agar jabatannya menjadi status sosial yang dipandang indah. Tujuan mereka menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan kode etik sebagai contoh korupsi, suap, dan gratifikasi tidak lain dan tidak bukan untuk membeli barang-barang mewah, mobil, dan lain sebagainya.
Oknum aparat penegak hukum tidak menyadari bahwa letak keindahan suatu jabatan bukan pada barang-barang mewah, mobil mewah, rumah mahal tetapi keindahan suatu jabatan adalah integritas.
Setara dengan hal itu maka setiap jabatan itu seharusnya dimaknai sebagai tugas etik, artinya ketika jabatan melekat padanya maka ada keharusan untuk mempertaruhkan hidupnya agar memenangkan hidup banyak orang. Jabatan melahirkan wewenang, kesempatan, sarana-prasarana maka ia harus bernilai etik.
Secara lebih ekstrim ketika seseorang memaknai serta merenungi bahwa kehidupan sebagai tugas etik maka ia akan menjadikan dirinya sebagai manusia yang supererogatoris yaitu orang yang melakukan melebihi apa yang diwajibkan. Sederet nama yang dapat kita sebut sebagai manusia yang supererogatoris yaitu: Yesus, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela dan lain sebagainya.
Dicirikan manusia supererogatoris yaitu orang yang berani mengambil resiko, tidak gentar melawan ketidakadilan, berani dalam kesendirian, berbuat kebaikan karena bukan hanya kewajiban tetapi memang keputusan eksistensial dirinya, karena ia sadar bahwa hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.