Lain lagi dengan apa yang diutarakan Maria Yulianto (2016) dalam jurnal berjudul “Penerimaan Penonton terhadap Diskriminasi Etnis Tionghoa dalam Film “Ngenest”” yang mencatat bahwa menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam mengeluarkan statement bahwa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) merupakan Cina kafir dan tidaklah pantas bagi minoritas memipin “mayoritas”. Selain itu menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, terdapat 101 kasus diskriminasi Tionghoa pada 2011 hingga 2018. Bahkan sejak masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, muncul suatu istilah baru: “Aseng”, yang juga merujuk pada masyarakat Tionghoa Indonesia.
Data-data yang telah disebutkan sebelumnya merupakan suatu bentuk keniscayaan bahwa diskriminasi dan rasialisme tidak hanya terjadi di AS, namun juga terjadi di sebuah negeri bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika yang konon artinya “berbeda namun tetap satu jua”, di negeri yang bahkan semboyannya tersebut tergantung di lambang negaranya (dan artinya terpampang di forum-forum internasional).
Memang tidak ada yang salah ketika kita berbicara mengenai gerakan antirasialisme yang bergema di seluruh dunia, tidak ada yang salah pula bagi warga Indonesia mengunggah foto hitam sebagai bentuk dukungan demi adanya keadilan kasus George Floyd di Instagram. Namun sikap tindak tersebut haruslah didasari pemahaman bahwa segala bentuk antirasialisme harus dihapuskan. Tidak hanya bagi masyarakat kulit hitam, namun semuanya, termasuk Tionghoa Indonesia yang sebenarnya dekat dengan masyarakat. Sehingga kita tidak hanya berbicara mengenai Black Lives Matter, namun All Lives Matter (semua nyawa atau kehidupan manusia itu berarti).
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Tulisan dapat berbentuk opini, esai ringan, atau tulisan ringan lainnya dari ide-idemu sendiri. Ingin tulisanmu juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.