Pemberian perlindungan terhadap korban KBGO dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban berbeda-beda tergantung jenis tindak pidananya dan dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya regulasi mengenai perlindungan hukum terhadap korban kejahatan dalam undang-undang tersebut hanya mengatur secara khusus terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat. Hal ini menegaskan bahwa sistem hukum di Indonesia saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan korban.
Penulis meyakini bahwa meskipun telah terdapat seperangkat peraturan perundang-undangan yang selama ini menjadi rujukan untuk kasus KBGO seperti yang disebutkan di atas, namun undang-undang tersebut memiliki cakupan perlindungan yang terbatas. Perempuan dengan identitas berusia di atas 18 tahun yang tidak terikat dalam perkawinan tercatat dan/atau bukan korban tindak pidana perdagangan orang, yang menjadi korban kekerasan seksual masih belum terlindungi aturan hukum. KUHP yang ada mengandung kelemahan dan keterbatasan untuk melindungi hak-hak korban, sehingga korban tidak berani untuk mengungkapkan kebenaran atas kejahatan yang menimpanya.
Korban KBGO sejatinya harus memperoleh jaminan atas keselamatan dirinya baik secara fisik maupun psikis serta berhak memperoleh bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis karena dampak dari tindak pidana yang terjadi pada dirinya dapat membuatnya mengalami trauma. Korban KBGO juga dapat memperoleh bantuan medis apabila tindakan pelaku berlanjut dilakukan di dunia nyata sehingga korban mengalami penderitaaan fisik.
Masih kurangnya pemahaman aparat penegak hukum yang berperspektif pada korban serta masih langgengnya pemahaman menyalahkan korban di tengah masyarakat menyebabkan rendahnya perlindungan bagi korban. Maka, jika negara memang benar ingin hadir untuk melindungi korban KBGO khususnya bagi perempuan dan anak, maka salah satu solusinya adalah mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Urgensi terkait percepatan pegesahan RUU PKS sebagai payung hukum yang komprehensif dalam mengatur kekerasan seksual di Indonesia sudah beralasan sangat jelas. Mulai dari terciptanya peluang, sudut pandang pelaku, dan korban dalam berbagai kasus kekerasan seksual. Keberadaan regulasi yang mampu mengakomodir korban dengan baik menjadi sebuah landasan utama dari pertanyaan terkait mengapa kekerasan berbasis gender online ini terus terjadi.
Kesimpulan