Menurut Mahkamah, perjanjian tersebut adalah perjanjian darat dan sulit di interpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Selain itu, argumentasi Indonesia bahwa Belanda telah melakukan efektivitas dengan menyampaikan bukti adanya patroli Angkatan Laut Belanda, adanya kapal-kapal Belanda yang berlayar di sekitar dua pulau, bahkan keberadaan kapal perusak Lynx pada tahun 1926 tidak dianggap sebagai bukti yang kuat kepemilikan. Sementera Malaysia sendiri memiliki bukti yang kuat, bahwa kedua pulau tersebut sebelum di administrasikan oleh Inggris/Malaysia adalah berstatus tanpa pemilik atau terra nullius.
Dalam hukum internasional, wilayah yang belum ada pemiliknya (tidak ada tittle suatu Negara) terbuka untuk dimiliki oleh setiap Negara. Selain itu, hal ini diperkuat dengan dilakukannya Prinsip Effectives. Hal ini dibuktikannya dengan dilakukannya pengaturan dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur-telur kura-kura sejak tahun 1917 dengan dikeluarkannya the 1917 Turtle Preservation Ordinance dan ketentuan perlindungan terhadap cagar burung. Selain itu, terdapat pula Mercusuar di kedua pulau yang dibangun oleh Malaysia (Mercusuar sudah ada pada Pulau Sipadan tahun 1962, sedangkan Pulau Ligitan Tahun 1963). Dengan demikian, Malaysia dinilai lebih menyakinkan Mahkamah tentang kepemilikannya atas kedua pulau tersebut.
kawanhukum.id merupakan platform digital yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Tulisan dapat berbentuk opini, esai ringan, atau tulisan ringan lainnya dari ide-idemu sendiri. Ingin tulisanmu juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.