Melalui Mahkamah Internasional, proses penyelesaian sengketa tersebut dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu Sesi Argumentasi Tertulis (Written Pleadings) dan Argumentasi Lisan (Oral Pleadings). Para hakim Mahkamah Internasional memilih dasar dan alur pertimbangan sendiri, yaitu memeriksa terlebih dahulu apakah ada akar kepemilikan (original title) berdasarkan dokumen formal (treaty based title).
Apabila tidak ada, maka hakim akan menggunakan Asas Effectives. Dengan dasar asas efektif, Pada tanggal 27 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Kerajaan Malaysia karena telah melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut.
Dalam putusannya, Mahkamah Internasional mengacu pada Putusan Denmark-Norway dalam Kasus Legal Status of Eastern Greenland. Dalam putusan tersebut terdapat kriteria penting untuk menunjukan adanya efektivitas. Pertama, adalah adanya kehendak dan kemauan (the intention and mil to act as sovereign) untuk bertindak sebagai negara pada wilayah yang disengketakan. Kedua, adalah adanya tindakan nyata atau pelaksanaan kewenangan negara (some actual exercise or display of such authority). Di samping itu, yang juga diperhatikan adalah ada tidaknya klaim yang lebih tinggi (superior claim) dari pihak lawan dalam sengketa.
Pada sengketa tersebut, Mahkamah tidak terlalu tertarik dengan argumen Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891.