Penganiayaan sebagai perbuatan tindak pidana dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, terdapat beberapa doktrin hukum pidana bahwa penganiayaan memiliki unsur sebagai berikut, adanya kesengajaan, adanya perbuatan, serta adanya akibat perbuatan (yang dituju) seperti rasa sakit dan/atau luka pada tubuh. Ketentuan mengenai penganiayaan diatur pada KUHP Bab XX Pasal 351 hingga Pasal 355. Tentu, unsur-unsur pada penganiayaan harus terpenuhi sebelum si anak didakwa melakukan penganiayaan. Unsur pertama penganiayaan yakni adanya kesengajaan, dimana berupa unsur subjektif (kesalahan), lalu unsur kedua yaitu adanya perbuatan dan ketiga adanya akibat perbuatan. Unsur kedua dan ketiga merupakan unsur objektif. Maka, dapat dinyatakan bahwa tindak pidana penganiayaan adalah semua tindakan melawan hukum dengan tujuan untuk memberikan rasa sakit atau luka, bahkan hingga menyebabkan kematian.
Ancaman pidana bagi anak yang telah ditentukan oleh KUHP (lex generalis) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (lex spesialis) dijelaskan bahwa bagi anak penjatuhan pidananya ditentukan yaitu ½ dari maksimum pidana orang dewasa, dan terhadap anak tidak ada pemberlakuan pidana seumur hidup dan pidana mati. Selain itu, juga diatur mengenai sanksi yang dijatuhkan yang ditentukan berdasarkan umur yaitu, bagi anak yang berumur 12 (dua belas) sampai dengan berumur 18 tahun dapat dijatuhi pidana sedangkan yang berumur 8 tahun sampai dengan berumur 12 tahun hanya akan dikenakan sanksi tindakan.
UU tersebut mengamanatkan untuk dalam hal proses penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum harus wajib mengutamakan menggunakan proses diversi terlebih dahulu sebagaimana pada Pasal 5 ayat (3). Pemidanaan anak dikenal asas ultimum remedium di samping asas kepentingan terbaik bagi anak yang memiliki landasan hukum dalam instrumen-instrumen internasional seperti Beijing Rules, Riyadh Guidelines, dan Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan anak yang kehilangan kebebasannya.
Ketentuan hukum internasional seperti Beijing Rules (United Nations Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice) menjelaskan serta mempertegas sistem peradilan anak yang baik harus mengutamakan kesejahteraan anak dan selalu memastikan bahwa reaksi apapun itu terhadap pelaku atau pelanggar hukum yang dikategorikan sebagai anak akan sepadan dengan keadaan-keadaan baik pelanggar hukumnya atau pelanggaran hukumnya dan anak hanya dapat dihilangkan kemerdekaannya harus sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Instrumen Internasional maupun nasional tersebut.
Penutup
Penegakan hukum mengenai pemidanaan dan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian diatur berkaitan dengan pembunuhan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bentuk sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan tidak diatur secara eksplisit, namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diatur mulai dari Pasal 69 s/d Pasal 83 yang pada intinya mengutamakan upaya diversi dan pidana penjara ½ dari maksimum pidana orang dewasa yang dikenakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tergantung dari unsur-unsur tindak pidana yang menyertai dengan juga melihat apakah akibat dari perbuatan tersebut terdapat korban yang meninggal dunia ataukah masih hidup (sehat walafiat).
Penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan (prinsip Double Track System) harus mulai dilirik untuk pemidanaan anak, karena dirasa lebih efektif demi mewujudkan asas kepentingan terbaik untuk anak dan kesejahteraan anak, mewujudkan prinsip proporsionalitas, dan Hakim dengan keyakinannya tetap berada dalam koridor Peraturan Perundang-undangan sebagai upaya mewujudukan tujuan hukum ketiga yakni, kemanfaatan.