Seperti halnya kasus Baiq Nuril di atas, dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.
Hak sakti Presiden berikutnya adalah Grasi. Secara rinci pengaturan tentang Grasi tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi Juncto Putusan Mahkamah Konstitusi No. 107/PUU-XIII/2015. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana.
Sanksi pidana yang dapat diberikan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Lalu, apakah Grasi diberikan dengan cuma-cuma? Tentu tidak, sebelum mendapatkan Grasi, terpidana harus mengakui kesalahannya. Setelah itu, terpidana mengajukan permintaan Grasi kepada Presiden.
Bagaimana dengan Rehabilitasi?
Dasar hukum pemberian Rehabilitasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Rehabilitasi adalah pemulihan hak seseorang setelah terbukti tidak bersalah atau terjadi salah penerapan hukum dalam rangkaian proses peradilan pidana.
Rehabilitasi otomatis diberikan dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap jika terdakwa dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Rehabilitasi juga bisa diajukan melalui praperadilan terhadap kesalahan prosedur.
Mengapa Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi Harus dengan Pertimbangan MA atau DPR?
Dahulu, sebelum amandemen UUD NRI 1945, Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi menjadi hak absolut Presiden. Namun, setelah UUD NRI 1945 diamandemen, pemberian grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara itu pemberian amnesti dan abolisi harus dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan adanya ketentuan pertimbangan ini, maka pemberian Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi bukan lagi menjadi hak absolut Presiden, melainkan harus memperhatikan pertimbangan dari MA atau DPR.