Pada tahun 2019 lalu Hakim Pengadilan Negeri di Jawa Timur telah menjatuhkan vonis hukuman kebiri kepada dua pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Vonis hukuman ini merupakan hukuman kebiri kimia pertama di Indonesia terhadap pelaku pidana.
Dalam hukum pidana di Indonesia, sanksi hukuman kebiri kimia hanya diperuntukkan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Aturan hukuman kebiri kimia berawal dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016, kemudian telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016. Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, dalam Pasal 81 Ayat 7.
Usai terbentuknya regulasi aturan mengenai hukuman kebiri kimia dan vonis terhadap pelaku, terjadi pro dan kontra terhadap implementasi hukuman tersebut. Di satu sisi, hukuman kebiri diharapkan dapat mampu memberikan efek jera terhadap pelaku serta dapat mencegah dan mengurangi kejahatan seksual terhadap anak. Sedangkan di sisi lain, hukuman kebiri kimia dianggap merampas dan mengkebiri hak asasi manusia (HAM) itu sendiri kepada seorang warga negara, dalam hal ini terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Tentang HAM tidak bisa terlepas dari hukum. Karena HAM dan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Indonesia sendiri adalah negara hukum, sebagaimana tertuang pada Konstitusi Indonesia UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3).
Konstitusi merupakan basic law negara Indonesia yang kedudukannya lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam konstitusi juga diatur HAM, yang artinya mengenai HAM dijamin oleh peraturan perundang-undangan tertinggi. Selain konstitusi UUD NRI Tahun 1945, HAM juga diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang yang ada di bawah UUD NRI Tahun 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut, UU No. 39/1999 tentang HAM).