- Sistem rekrutmen hakim
- Kekurangan sistem rekrutmen hakim
- Perbaikan sistem rekrutmen hakim
- Kasus hakim dan Panitera PN Surabaya
Hakim adalah pejabat negara yang menjadi ujung tombak penegakan hukum dalam suatu negara. Pelaku kekuasaan kehakiman berperan sebagai penegak keadilan tentunya menjadi unsur yang menjadi harapan masyarakat dalam mendapatkan keadilan. Kehadiran hakim yang adil, kompeten, dan berkualitas adalah harapan setiap masyarakat dalam memperjuangkan haknya di depan pengadilan. Hal ini karena hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) yang mempunyai peran lebih dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera karena hakim merupakan konkretisasi dari hukum dan keadilan yang abstrak.
Kualitas lembaga peradilan tentunya ditentukan oleh kepribadian dan perilaku hakim. Hakim yang memiliki integritas akan melahirkan putusan yang adil berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara menurut Immanuel Kant, kehormatan, martabat, dan perilaku hakim akan tetap tegak, luhur dan terjaga, ketika hakim dalam menjalankan profesinya tidak saja mendasarkan diri sebagai manusia dalam bekerja dan berfikir (home faber) dalam memeriksa, mengadili, dan memutus kasus yang mempertimbangkan teknis yuridis (per se), tetapi juga prinsip-prinsip etis (homo ethicus).
Hakim harus mempunyai kemampuan profesional, moral dan integritas yang tinggi agar mampu mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan kepastian hukum. Hakim sebagai pengemban profesi hukum selalu dituntut pengembangan dirinya senantiasa didasarkan pada nilai-nilai moralitas umum (common morality) yang terdiri beberapa yang diantaranya:
a. Nilai-nilai kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada keluhuran martabat kemanusiaan,
b. Nilai-nilai keadilan (justice), dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.
c. Nilai-nilai kepatutan dan kewajaran, dalam arti bahwa upaya dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat selalu diwarnai oleh kesadaran untuk selalu memperhatikan dan memperhitungkan rasionalitas situasi dan rasa keadilan individual anggota masyarakat,
d. Nilai-nilai kejujuran, dalam arti dorongan kuat untuk selalu memelihara kejujurandan penghindaran diri dari perbuatan yang curang;
e. Nilai pelayanan dan kepentingan publik, diartikan bahwa dalam pengembangan profesi hukum telah melekat semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari dipegang teguhnya nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kredibilitas profesional dan keilmuan (Indonesia, 2017) .
Sebagai penegak keadilan, hakim menjadi profesi yang paling dihormati, dimuliakan, dan putusannya selalu dianggap benar selaras dengan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur. Asas ini diartikan bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Dalam hukum pidana misalnya, putusan hakim dianggap sebagai kebenaran materil atas sebuah perkara. Hakim adalah profesi yang mulia yang kerap disebut sebagai “wakil tuhan” sehingga membutuhkan keahlian khusus dan tanggung jawab besar. Hakimlah yang dapat menentukan nasib seseorang atau kelompok ditentukan melalui ketukan palunya atas nama negara. Namun, melakoni profesi hakim tak jarang penuh godaan bersifat materi, ancaman, intervensi para pihak berkepentingan, bahkan kekuasaan.
Hakim Sebagai Wakil Tuhan
Dalam mewujudkan lembaga peradilan yang ideal, hakim harus memiliki integritas dan kualitas yang mumpuni. Profesi Hakim dipandang sebagai officum nobile (profesi terhormat/luhur) yang memiliki kekuasaan sangat besar dan sangat penting dalam proses peradilan. Keluhuran martabat hakim adalah suatu keniscayaan yang harus dijaga demi menjaga martabat pengadilan serta menjamin bahwa pengadilan adalah institusi yang dapat dipercaya. Hal ini tercemin sedari awal dari proses pelaksanaan perekrutan calon hakim yang 75 persen dilakukan oleh Kemenpan-BR bersama BKN.
Dalam proses seleksi tersebut melibatkan Mahkamah Agung saat sesi wawancara yang bertujuan untuk menjamin obyektivitas, transparansi dan akuntabilitas serta memperoleh sumber daya yang berkualitas dan berintegritas. Seluruh calon hakim yang berhasil lolos dalam tahapan-tahapan seleksi ini kemudian ditetapkan oleh Sekretaris Mahkamah Agung selaku Ketua Panitia Seleksi sebagai Calon Hakim/CPNS yang kemudian diwajibkan untuk melakukan registrasi ulang.
Dalam rangka menguatkan motivasi dan integritas serta kompetensi, CPNS/Calon Hakim diwajibkan mengikuti Pembekalan, Pelatihan Dasar/Prajabatan, serta Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim secara berkesinambungan. Pembekalan dilaksanakan selama 2 hari, sementara Pelatihan Dasar dilaksanakan selama kurang-lebih 5 bulan. Selanjutnya para CPNS/Calon Hakim mengikuti Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim yang merupakan integrasi antara kurikulum pembelajaran serta kesempatan magang di masing-masing pengadilan tingkat pertama. Kegiatan tersebut menurut Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI sebagai suatu sistem yang diharapkan dapat menghasilkan hakim muda yang baik dan berkualitas dalam kurun waktu yang singkat dengan metode paling efektif yaitu belajar sambil melakukan (learning by doing) yang dilaksanakan selama 65 pekan.
Kekurangan Sistem Perekrutan Calon Hakim
Namun dari beberapa hal tersebut, tetap saja sistem perekrutan calon hakim juga memiliki kekurangan seperti misalnya seleksi perekrutan hakim ini menempatkan status calon hakim sama dengan calon pegawai negeri sipil tidak sesuai dengan status hakim sebagai pejabat negara sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan panitia seleksi hanya melibatkan Kemenpan-RB dan BKN yang menyebabkan proses seleksi menjadi kurang partisipatif. Selain itu, tahapan seleksi sangat sederhana untuk sebuah jabatan hakim sehingga hasil seleksi tidak dapat menjamin kualitas dan integritas hakim yang sebenar-benarnya dan Proses pendidikan dan pelatihan setelah seleksi tidak proporsional.
Terlebih daripada itu, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dengan jelas mengamanatkan dalam Pasal 31 ayat(1) “hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah MahkamahAgung”. Ketentuan ini dipertegas dengan Pasal 122 huruf e Undang-Undang Sipil Negara yang menyatakan bahwa “Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc” adalah pejabat negara. Dengan demikian sudah sepantasnya mendudukkan hakim tidak setara dengan PNS dan tidak diseleksi dengan metode yang sama.
Maka hendaknya dalam mekanisme perekrutan hakim dimulai dengan turut melibatkan Komisi Yudisial dalam proses seleksi serta merekonstruksi tahapan seleksi menjadi beberapa hal seperti :
a. Tahap pendaftaran dan seleksi berkas dengan menambah persyaratan berupa surat rekomendasi dan esai;
b. Tes kemampuan dan pengetahuan hukum untuk mengetahui pemahaman dan kemampuan kandidat calon hakim;
c. Tes psikotes untuk mengetahui kepribadian kandidat calon hakim, menilai kesesuaian antara esai yang dibuat dengan proses wawancara, serta kondisi kesehatan para calon kandidat;
d. Memaksimalkan partisipasi masyarakat melalui public hearing dan assessment
e. Kelima ujian praktik peradilan;
f. Pendidikan dan pelatihan calon hakim;
g. Pengangkatan hakim melalui ketetapan presiden untuk menegaskan status hakim sebagai pejabat negara.
Ilustrasi Kasus
Mengapa rekonstruksi pengangkatan calon hakim perlu menjadi perlu untuk dilakukan? Sebagaimana kasus yang pernah terjadi kepada Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Itong Isnaeni Hidayat seorang hakim senior yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK saat menjadi hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Lampung. Itong sempat menjadi hakim yang mengadili mantan Bupati Lampung Timur Satono dengan nilai korupsi Rp 119 miliar dan mantan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurna Jaya dengan nilai korupsi Rp 28 miliar.
Berdasar kasus yang sedang ditanganinya, Itong membebaskan Satono dan Andy pada tahun 2011 silam. Namun di tingkat kasasi, Satono dihukum 15 tahun penjara dan Andy dihukum 12 tahun penjara. Putusan bebas Satono dan Andy tersebut membuat Itong sempat diperiksa oleh Mahkamah Agung (MA). Itong terbukti melanggar kode etik dan diskors ke Pengadilan Tinggi (PT) Bengkulu. Itong melanggar Keputusan Ketua MA No 215/KMA/SK/XII/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim. Itong diputus terbukti melanggar Pasal 4 ayat 13 yang berbunyi:
Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.
Adapun dua hakim lain yang mengadili Satono dan Andy dinyatakan MA tidak bersalah secara etika. Setelah hukuman skorsnya pulih, Itong berdinas lagi. Sebelum bertugas di PN Surabaya, ia sempat memegang palu di Pengadilan Negeri (PN) Bandung.
Tak berhenti disitu saja, ternyata Itong kembali disebut namanya karena kasus yang menimpanya yakni Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari KPK yang datang ke kantor PN Surabaya bersama dengan panitera penggantinya, Hamdan S.H. juga turut diamankan serta pengacara yang diduga sedang melakukan tindak pidana korupsi pemberian dan penerimaan uang terkait sebuah perkara di PN Surabaya.
Sehingga berdasar hal-hal tersebut, penulis memanang perlu dilakukannya upaya rekonstruksi pengangkatan calon hakim di Indonesia agar mampu melahirkan hakim-hakim yang memang berintegritas sesuai hakikat profesi hakim itu sendiri.