Ada banyak alasan yang mengharuskan kita berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk menerima revisi Undang-Undang KPK (UU KPK). Terdapat banyak pasal-pasal dengan kedok penguatan KPK, namun sulit dicerna dengan akal sehat. Niat awal pembentukan KPK sebagai lembaga negara independen akan mati sesegera mungkin ketika DPR menyetujui untuk merevisi UU KPK. Bahkan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun telah mengirim wakil pemerintah untuk segera membahas RUU KPK.
Dalam tulisan ini, kita akan mengulas pasal-pasal di dalam revisi UU KPK sebagai bentuk nyata pelemahan KPK itu sendiri. Sejatinya alasan yang menguatkan diri kita untuk menolak revisi UU KPK adalah kita -sebagai rakyat Indonesia- yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan negara yang bebas korupsi, salah satu caranya adalah dengan mendirikan lembaga negara independen yang mampu menjawab kebutuhan rakyat terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sejak didirikan, KPK telah berhasil menangani beratus-ratus tindak pidana korupsi dan menyelamatkan triliunan uang negara. Maka dari itu, yuk kita simak 5 alasan mengapa kita perlu menolak revisi UU KPK!
1. Pembatasan Penyadapan (Pasal 12)
Proses penyadapan yang awalnya pada pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dilakukan secara bebas sebagai bagian dari kewenangan KPK, rencananya akan dibatasi pada revisi UU KPK. Ke depannya, apabila revisi UU KPK menjadi RUU dan disahkan, penyadapan oleh KPK dibatasi. Bahkan, harus meminta izin Dewan Pengawas secara tertulis yang hanya berlaku selama 3 bulan dan hanya dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.
2. Pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37 A-E)
Dewan Pengawas merupakan lembaga non-struktural yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK secara mandiri. Dewan ini bertugas menyusun kode etik pimpinan KPK dan parahnya lagi nih, doi juga sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin penyadapan dan penyitaan yang tentunya akan mempersempit ruang gerak KPK.
3. Penyelidik KPK atas usulan Kepolisian (Pasal 43)
Pada revisi UU KPK, penyelidik KPK dipilih melalui usulan kepolisian, pengangkatan dan pemberhentiannya pun atas usulan kepolisian. Hal ini merupakan salah satu contoh rapuhnya independensi KPK pada proses pemilihan penyelidiknya.
4. Campur Tangan Kepolisian dan Kejaksaan untuk Pemilihan Penyidik KPK (Pasal 45)
Tidak jauh berbeda dan lebih parah dari penyelidik KPK, proses pemilihan penyidik KPK harus diselenggarakan oleh kepolisian dan kejaksaan bekerjasama dengan KPK. Penyidik KPK nantinya akan terikat dengan kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak sepenuhnya independen.
5. Birokrasi Berbelit pada Kewenangan Penyitaan oleh Penyidik KPK pada Pasal 47
Kewenangan penyitaan serupa dengan proses penyadapan yang lagi-lagi harus sesuai persetujuan izin dari Dewan Pengawas. Izin tersebut tertulis dalam waktu paling lama 1×24 jam diminta kepada Dewan Pengawas KPK.
Merevisi UU KPK sama dengan mempermudah dan melanggengkan praktik korupsi di Indonesia. Rapat Paripurna DPR untuk menyetujui merevisi UU KPK yang hanya dalam waktu 20 menit dan dihadiri hanya 70 orang dari total 560 anggota DPR sungguh dipertanyakan. Memang, KPK adalah lembaga pelaksana undang-undang, namun bukan berarti menjadi alasan untuk terus dipermainkan oleh lembaga pembuat undang-undang. Gaungkan tagar #SaveKPK di seluruh media sosialmu!