Tulisan ini menilik beberapa kasus belum lama ini yang serupa mengenai kesamaan merek atau nama usaha dan legalitas dalam pendaftaran merek yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa kasus yang muncul antara lain mengenai GoTo, Ayam Geprek Bensu, Gudang Garam vs Gudang Baru, DC Comics vs Wafer Superman, Monster Energy vs Monster (Surabaya), dan IKEA (Swedia) vs IKEA (Intan Khatulistiwa Esa Abadi).
Kasus serupa yang lebih baru adalah sengketa merek dagang kecantikan MS Glow terhadap PS Glow. Merek dagang MS Glow sendiri merupakan milik Shandy Purnamasari dan Gilang Widya Purnama yang dikenal sebagai Juragan 99. Sedangkan nama produk PS Glow milik Putra Siregar dengan Septia Siregar.
Sengketa ini terjadi di Pengadilan Niaga Surabaya yang dimenangkan oleh PS Glow. Pada akhirnya, MS Glow harus membayar ganti rugi sebesar Rp 37,9 miliar kepada PS Glow dan diminta untuk menghentikan berbagai produksi skincare atau produk kecantikan, perdagangan, dan menarik seluruh produk MS Glow yang telah beredar di Indonesia.
Kasus bermula pada 13 Agustus 2021, pemilik MS Glow melaporkan Putra Siregar selaku pemilik PS Glow ke Bareskrim Polri wilayah Medan atas dugaan kejahatan merek dan rahasia dagang yang pada akhirnya dihentikan pada Maret 2022 karena tidak cukup alat bukti. Lalu, dengan adanya alasan merek PS Glow menyerupai MS Glow, pihak MS Glow melaporkan pengajuan pembatalan merek PS Glow ke Pengadilan Negeri Medan.
PS Glow merasa pihaknya tidak menyalahi aturan lalu mengajukan gugatan balik kepada pemilik MS Glow ke Pengadilan Negeri Surabaya. Pengadilan menyatakan bahwa PS Glow dengan MS Glow berada di merek kelas yang berbeda.
Setelah beberapa kali dilakukan mediasi yang berakhir sengketa berkepanjangan antara merek dagang PS Glow dan MS Glow ini dimenangkan oleh PS Glow. Pertimbangannya adalah mereknya berbeda dari yang digugatkan. Putusan hakim menyatakan bahwa PT Pstore Glow Bersinar Indonesia telah mengantongi hak eksklusif atas merek dagang PS Glow dan merek dagang PS Glow telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Senada dengan hal tersebut, sejak berdirinya Direktorat Penyidikan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual pada Maret 2011-September 2012 telah menerima pengaduan mengenai pelanggaran Merek sebanyak 55 kasus.