Hak asasi manusia merupakan hak pemberian dari Tuhan dan bersifat mutlak yang melekat dalam diri tiap individu dari sebelum ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Pemberian hak asasi kepadanya bukan semata-mata berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Sifat hak asasi manusia bersifat universal, yang artinya hak-hak tersebut tidak dapat dicabut, serta sifat hak asasi manusia yang universal tersebut mengandung arti bahwa hak asasi manusia tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Nilai-nilai universal inilah yang kemudian diterjemahkan di beberapa negara untuk menghormati hak hidup, memberikan perlindungan, dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan (A. Mahsyur Effendi, 2005). Bahkan, nilai universal HAM tersebut telah dicantumkan dalam Declaration Universal of Human Right (DUHAM), ICCPR, dan sebagainya.
Nilai universal dari hak asasi manusia telah bergema selama lebih dari setengah abad, yang telah membawa konsep hak asasi manusia masuk kedalam sendi-sendi kehidupan umat manusia. Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah bahwa hak asasi manusia selalu menjadi landasan awal bagi suatu negara untuk merumuskan kebijakan dan berprinsip pada hak asasi manusia yang universal, salah satunya adalah hak untuk hidup.
Namun demikian, dalam perkembangan konsep HAM yang universal, seringkali terjadi kerancuan dalam aspek identifikasi sehingga menimbulkan kesalahan kecil dalam penafsirannya. Padahal, penerapan nilai-nilai universal HAM tidak selalu memiliki prinsip yang sama tentang hak untuk hidup. Terdapat beberapa tafsiran prinsip hak untuk hidup yang berbeda antara negara satu dengan yang lainnya, terutama negara Islam dan Barat (Habib Sulthon A, 2017).
Perdebatan nilai HAM right of life dan hukuman mati dalam Islam dan Barat
Perjuangan hak untuk hidup (right of life) berhubungan dengan aturan di beberapa negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati, walaupun negara tersebut bukanlah negara Islam seperti Indonesia. Dalam aturan hukum pidana Islam, diterapkan pemberlakuan hukuman atas kejahatan seperti cambuk, potong tangan atau kaki, penyembelihan, dan bahkan hukuman yang dinilai sangat ekstrem untuk diberlakukan, yakni hukuman mati atau qisas (Syracuse University Press, 1990).
Akibatnya, hal tersebut memicu perdebatan antara negara Barat dan Islam, dimana negara Barat menganggap bahwa hukuman pidana Islam tersebut dinilai sangat kejam dan tidak manusiawi, serta melanggar aturan dan prinsip hak asasi manusia dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dualisme mahzab terkait penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas hidup antara negara Islam dan Barat seperti tidak menemukan titik temu.