Definisi negara tentang jenis gagasan yang layak dilindungi juga dapat memengaruhi jumlah perlindungan yang diberikan kepada tertentu media. Secara fundamental norm Undang-undang pers dibentuk untuk melindungi kebebasan berekspresi seperti pada pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang mana dijelaskan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dasar pemikiran tersebut kemudian dijadikan sebagai landasan dalam membentuk undang-undang tentang pers.
Oleh karena sangatlah penting dalam kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang harus dilindungi, dihormati dan dipenuhi. Dalam hal ini secara mendasar undang-undang pers dibentuk dalam rangka menjaga dan menguatkan pers bebas sebagai sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum, maka tata cara yang diatur dalam undang-undang tentang pers harus didahulukan (primaat prevail) dari pada ketentuan hukum lain, apalagi ketentuan pemidanaan.
Dalam penegakan hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch, Setidaknya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam penegakan hukum ketiganya harus dijalankan secara selaras (kompromi). berkaitan dengan penegakan tindak pidana pers dalam salah satu putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 1608K/Pid/2005 memberikan salah satu prinsip untuk mengutamakan dan mendahulukan Undang-undang pers dalam penegakan hukum pidana pers di Indonesia dan kemudian prinsip ini dienal dengan prinsip primaat prevail.
Dasar pemikiran dinyatakannya Undang-undang pers sebagai primaat prevail oleh hakim dapat dilihat dari dasar pertimbangan hukumnya (ratiodecidendi atau reasoning) hakim dalam memutus perkara kasasi Nomor 1608K/Pid/2005. Karena ratiodecidendi atau reasoning merupakan ajuan atau referensi untuk membangun argumentasi hukum atau legal reasoning dalam rangka memecahkan isu hukum yang terjadi. Kebebasan berbicara dan kebebasan pers berada di bawah payung ‘kebebasan berekspresi’. Kebebasan berekspresi berkaitan dengan komunikasi, yang selalu melibatkan dua sisi dan oleh karena itu membutuhkan dua jenis hak perlindungan: hak untuk berekspresi dan hak untuk mendengar ungkapan itu. Menurut Alexander, hak penonton untuk mendengar ungkapan adalah bahkan lebih penting daripada hak pembicara untuk mengekspresikannya.
Berdasarkan asas prefentif yaitu asas lex specialis derogate legi generalis maka peraturan yang lebih kusus akan menyampingkan aturan yang lebih umum. dalam konteks ini jika adanya suatu pelangaran tindak pidana maka jika di kaitkan dengan asas tersebut maka Undang-undang pers lah yang sifatnya kusus dengan mengesampingkan KUHP yang bersifat umum. majelis hakim kasasi, dalam pertimbangan hukum atau ratio legis-nya menyatakan, “secara filosofi berdasarkan pasal 3,4 dan 6 UU No.40 tahun 1999 (undang-undang pers), pers nasioanal telah ditempatkan sebagai pilar keempat demokrasi meskipun Undang-undang pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers, terutama ketika terjadi delik pers karena tidak ada ketentuan pidana dalam Undang-undang tersebut dan diberlakukan ketentuan KUHP, agar perlindungan hukum terhadap pers bukan merupakan impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu mengakomodasi dan menempatkan undang-undang pers sebagai lex specialist”
Kasus penganiayaan terhadap salah satu jurnalis Tempo yang sedang bertugas untuk melakukan peliputan adalah suatu pelangaran terhadap kebebasan pers maka bentuk penganiayaan yang dilakukan adalah tindak pidana pers. Maka tepat jika dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh penyidik dengan mengunakan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.
Tindakan berekspresi dapat berupa kekerasan dan merusak secara sewenang-wenang, dan tampaknya tidak mungkin bahwa siapa pun akan mempertahankan bahwa sebagai kelas mereka harus kebal dari hukum pembatasan (Scanlon 1972: 207). ‘Prinsip kerugian’ Mill, penjelasannya tentang kebebasan berekspresi oleh Scanlon, dan gagasan Guinn dan Habermas tentang menyeimbangkan kepentingan kebebasan berekspresi dan kepentingan sosial penting lainnya adalah alat analisis yang penting untuk memeriksa batasan pers kebebasan – tidak hanya untuk menganalisis kasus, tetapi juga untuk memeriksa kembali hukum dan kebijakan. Intinya, kebebasan pers harus dilindungi mempromosikan masyarakat demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Dari sini semakin jelas jika undang-undang pers sebagai primaat prevail dalam kasus tindak pidana pers adalah untuk menjaga keseimbangan kepentingan pihak pers.