Terkadang pelanggaran terhadap prinsip dan kode etik jurnalis menjadi sengketa antara pers dengan pihak yang menjadi obyek pemberitaan. Disatu sisi pers sebagai representasi dari hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk memperoleh informasi. Namun, disisi lain sebagian masyarakat baik sebagai subyek penerima maupun sebagai subyek informasi menilai ada kalanya pers memberikan ketidakbenaran dalam pemberitahuan informasi berita yang disajikan pers.
Meskipun telah terjadinya sengketa, namun undang-undang pers telah mengakomodir adanya hal tersebut pada pasal 15 huruf d undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers dengan menjelaskan dewan pers yang memiliki fungsi untuk pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan pers.
Tidak hanya sengketa pers pelanggran penghalang-halangan terhadap jurnalistik yang bekerja berdasarkan kode etik pers pun sering terjadi. Tidak lama di Surabaya kasus pelanggran seperti itu terjadi yaitu terhadap salah satu jurnalis Tempo yang melakukan investigasi jurnalistik terhadap salah satu subyek berita yang akan di angkat.
Tujuan untuk mendapatkan informasi yang berimbang dengan mengkonfirmasi justru malah dianiaya bahkan ada proses penyensoran terhadap alat-alat liputan. Akibat hal tersebut tersangka yang ditetapkan oleh Polda Jawa Timur dikenakan pasal 170 KUHP dan atau Pasal 351 KUHP dan atau Pasal 335 KUHP dan atau Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Penyelesaian sengketa melalui dewan pers sebagai lembaga mediasi merupakan salah satu Alternative Dispute Resolution (ADR). Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan. ADR biasanya digunakan untuk perkara-perkara perdata, tapi sering juga digunakan untuk menyelesaiakan perkara-perkara pidana tertentu, misal tindak pidana anak dan tipiring.
ADR dalam kasus pidana tersebut juga bisa disebut dengan mediasi penal (penal mediation). Namun dalam pelanggaran pers menjadi penting diutamakan terhadap tindak pidana yang di atur di dalam undang-undang pers. Karena ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pers telah dibuat dalam kerangka menjaga dan penguatan pers sebagai sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum, maka tata cara yang diatur dalam undang-undang pers harus didahulukan (primat/prevail) dari pada ketentuan-ketentuan hukum lain. Selain itu dalam undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, kemerdekaan pers ditempatkan sebagai sebuah upaya untuk melindungi hak asasi warga negara dalam memperoleh informasi.
Kebebasan berbicara dan kebebasan pers berada di bawah payung ‘kebebasan berekspresi’. Kebebasan berekspresi berkaitan dengan komunikasi, yang selalu melibatkan dua sisi dan oleh karena itu membutuhkan dua jenis hak perlindungan: hak untuk berekspresi dan hak untuk mendengar ungkapan itu. Menurut Alexander, hak penonton untuk mendengar ungkapan adalah bahkan lebih penting daripada hak pembicara untuk mengekspresikannya. Bentuk komunikasi yang paling jelas adalah bahasa, ekspresi, informasi melalui kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Namun, informasi juga dapat diekspresikan dalam simbol non-verbal, visual, musik, atau dengan perasaan.
Suatu bentuk ekspresi tertentu yang menjadi pusat dari banyak hal perdebatan tentang kebebasan berekspresi adalah persuasi. Ini mengacu pada upaya untuk mengubah posisi penerima ekspresi. Sering kali persuasi dianggap sebagai argumen yang mencoba meyakinkan pendengar tentang manfaatnya posisi pembicara, tetapi mungkin terselubung dalam cerita, praktik ritual, atau praktik artistik. Persuasi adalah contoh khas dari suatu “gagasan” mungkin ingin melindungi.