kawanhukum.id – Kemajuan teknologi sangat membantu manusia, mulai dari kemudahan dalam berbagi informasi hingga melakukan transaksi. Kemajuan ini menjawab keresahan manusia dalam mengkonversi, menyimpan, melindungi, memproses, mengirimkan dan memanggil kembali informasi kapanpun dan dimanapun. Begitu juga dengan informasi palsu atau hoaks.
Penggunaan teknologi informasi harus dilakukan dengan bijak karena bila tidak maka akan akan menimbulkan peluang terjadinya disintegrasi pada negara kita. Hal itu dapat dibuktikan dengan marak nya kabar atau berita yang tidak dapat dipertangungjawabkan kebenaranya atau yang biasa kita sebut dengan hoaks atau informasi bohong yang terus berkembang dalam masyarakat. Penyebaran berita dilakukan melalui berbagai media sosial yang berbasis daring seperti WhatsApp, Facebook, Twitter, Line dan sebagainya.
Hoaks yang disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dibuat seperti rangkaian fakta dengan sengaja untuk menyesatkan publik dengan tujuan menguntungkan diri sendiri maupun golongannya. Keberadaan hoaks sangat mengkhawatirkan bangsa karena dapat mempengaruhi pola pikir masayarakat luas yang dapat menciptakan kondisi saling benci, permusuhan, hilangnya rasa toleransi dan pada akhirnya akan menciptakan sebuah disintegrasi bangsa.
Sebenarnya kasus yang berkaitan dengan berita bohong sudah sejak dulu ada, namun dalam kurun waktu lima tahun terakhir kasus mengenai berita bohong tersebut terus mencuat di sosial media. Apalagi saat menjelang dilaksanakannya pemilihan Presiden republik Indonesia tahun 2019.
Banyak kabar bohong yang dapat kita analisa, mulai dari kasus kebohongan oleh aktivis organisasi sosial yang sejak muda memperjuangkan hak rakyat yakni Ratna Sarumpaet, kabar meninggalnya wanita bernama Margaretha Nainggolan dalam kerusuhan 22 Mei di depan Gedung Bawaslu, hingga berita tentang adanya polisi dari china yang bertugas di Indonesia dalam mengamankan demo pilpres.