Kemudian, dalam penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, gratifikasi yang diterima tersebut baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Unsur tindak pidana gratifikasi pada Pasal 12B, yaitu:
- Unsur perbuatannya (subjek hukumnya): pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Unsur perbuatan menerima
- Unsur objek gratifikasi
- Unsur yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
Dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi:
- pemberian hadiah berupa uang tunai
- pemberian hadiah berupa barang berharga
- berbagai macam diskon dari diskon tiket pesawat, belanja dan lainnya
- hadiah beruapa bonus
- pinjaman bunga 0%
- tiket gratis perjalanan wisata
- hadiah berupa fasilitas gratis berbagai macam penginapan dari hotel sampai villa
- berobat gratis dan fasilitas lainnya
Dalam perkembangan gratifikasi pemberian hadiah tidak hanya berupa barang berharga atau uang tunai dapat juga disediakan dalam jenis layanan seksual. Berbicara mengenai gratifikasi dalam bentuk layanan seksual Indonesia belum mengaturnya secara tegas dalam Undang-undang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi. Pelaku gratifikasi seksual sampai saat ini sulit terungkap, bahkan Mahkamah Konstitusi pun sudah banyak mengantongi laporan mengenai gratifikasi seksual yang sampai saat ini belum terpecahkan.
KPK pun di desak agar segera membuat aturan khusus mengenai gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual. Sampai saat ini gratifikasi seksual pembuktiannya tergolong sulit karena melibatkan golongan elit dan bersifat tertutup.
Pemberian berupa pelayanan seks yang memiliki nilai kesenangan dan kenikmatan seks yang kemudian disebut dengan gratifikasi seks. Sebagaimana pada frasa “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12B tidak memberikan definisi maupun menguraikan penjelasan mengenai fasilitas lainnya. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima kepuasan atau kenikmatan pelayanan seks dimungkinkan dapat mempegaruhi tugas dan kewajbannya sebagai aparatur negara. Gratifikasi seks di Indonesia belum ada aturan yang jelas dan tegas, sehingga menimbulkan kekosongan hukum. Keadaan tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya kepastian hukum.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh gratifikasi seks tidak hanya permasalahan sosial dan moral tetapi jika dibiarkan secara terus menerus maka akibat yang ditimbulkan juga meliputi permasalahan materiil. Pengaturan pemberian atau gratifikasi seks sebagai langkah preventif, karena pemberian dalam bentuk pelayanan seks atau gratifikasi seks akan menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat berpotensi menjadi tindak pidana korupsi dikemudian hari.