Menurut Danang, tiga bidang yang menjadi penyebab Indonesia terus berada di urutan bawah ialah sektor korupsi politik, sektor peradilan serta konflik kepentingan.
Pertama, korupsi politik. Misalnya, pembelian suara dan pendanaan politik sudah merupakan bentuk korupsi politik yang sering dijumpai di sekitar kita. Sebagaimana pernyataan Machiavelli dalam bukunya The Prince, korupsi politik merupakan proses di mana kebaikan warga negara diabaikan dan dirusak. Bahkan individu terbaik dapat disuap oleh ambisi kecil dan keserakahan karena manusia tidak pernah puas.
Kedua, korupsi peradilan. Praktik korupsi di dunia peradilan merupakan fenomena nyata yang masih terus terjadi. Berdasarkan data ICW 2012-2019 di era kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali, 20 hakim terjerat kasus korupsi. Ditangkapnya Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh selaku hakim MA menambah catatan kelam korupsi di dunia peradilan.
Ketiga, konflik kepentingan. Berdasarkan Peraturan Menpan RB No. 12/2016, konflik kepentingan adalah: “Situasi di mana Penyelenggara negara memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi terhadap setiap penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi kualitas keputusan dan/atau tindakannya”.
Penelitian Marepus Corner bertajuk ‘Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia’ menyebutkan bahwa sebanyak 318 anggota DPR merupakan pebisnis. Jumlah ini lebih dari setengah anggota DPR (55 persen), sedangnya anggota non-pebisnis hanya 45 persen.